Chapter 17. White in Maze

15 10 0
                                    

*****

Anggita melontarkan sisa puntung rokok ke tanah kemudian menghancurkannya dengan tumit sepatu. Perlahan ia menggerakkan tangan kanannya untuk menyusut tetes-tetes air mata di pipinya. Dadanya terasa sesak dan sakit mengalahkan rasa sakit di tulang rusuk dan punggungnya yang menjadi samsak Hendra beberapa hari yang lalu. 

Seandainya Mutia, pengasuhnya tidak berada di rumah saat itu, mungkin ia berakhir dibawah tanah pemakaman. Selama berhari-hari ia harus menderita nyeri hebat di punggung dan dada kirinya. Ketimbang menangis kesakitan, Anggita lebih bertekad menikmati semua rasa sakit itu, meskipun pada saat tertentu ia tidak bisa membendung gelombang air matanya. Dirinya merasa kuat sekaligus rapuh di saat bersamaan. 

Hidup benar-benar menyedihkan baginya. Rasanya keinginan untuk mengakhiri semuanya kembali membayangi pikirannya tatkala rasa nyeri mendera. Namun, pikiran itu luntur setiap kali ia melihat tekad Bi Mutia yang terus berusaha melindunginya. Belum lagi, Bu Lita, guru bimbingan dan konselingnya ikut membawa dirinya ke rumah sakit. Guru muda itu terlihat panik dan ketakutan dan berlari kian kemari mengurus administrasi perawatannya. Ada harapan dan kasih sayang di raut wajah kedua orang tersebut yang membuat Anggita kembali ingin bertahan. Ia masih memiliki dua sayap malaikat yang siap melindunginya dari kesulitan apa pun. Ia akan bertahan demi mereka yang tidak pernah meninggalkannya.

Anggita melangkah meninggalkan gang buntu tersebut, menyusuri jalanan gang berdebu dengan segala aktivitas penghuninya hingga tiba di pinggir jalan utama. Anggita berdiri sejenak disana, menatap hampa hilir mudik kendaraan yang memadati jalanan. Suara klakson kendaraan yang bersahut-sahutan tak mampu mengusik kesepian dalam hatinya.

Sebuah angkutan berwarna biru langit berhenti tepat di depan Anggita. 

“Kilometer 5, Dek,” seru sopir angkot menyebutkan jalur trayek angkotnya. 

Anggita termenung sejenak sebelum melangkah masuk ke dalam mikrolet tersebut. Gadis ceking itu mengambil posisi duduk dekat pintu. Ia ingin menikmati angin sore yang berhembus dari teluk.

“Panti Jompo Kasih Abadi, Pak.” Anggita menyebutkan tujuannya. 

Sang sopir segera memacu mikrolet dengan kecepatan sedang. Anggita bersandar pada sisi pintu mikrolet. Ia memejamkan mata sekadar menikmati belaian sang bayu yang asyik memainkan rambut pendeknya yang berbias cokelat terang setiap kali tersentuh pantulan cahaya matahari. 

Setelah menikmati perjalanan selama beberapa puluh menit, akhirnya Anggita tiba di depan panti jompo tujuan. Panti yang dikunjunginya minggu lalu bersama Alex. Ia merasa bersalah pada pemuda itu karena telah meluapkan kemarahan padanya yang tak bersalah sama sekali. 

Entah apa yang merasuki pikirannya, secara impulsif ia membawa dirinya ke tempat ini. Sendirian tanpa Alex. Anggita ragu apakah ia akan diizinkan masuk atau tidak. Ia hanya berdiri termenung di depan pintu gerbang panti.

“Nak Anggita?”

Anggita menoleh dan mendapati Bu Lasti yang ia temui bersama Alex minggu lalu berdiri di sampingnya. Perempuan yang akrab dengan gamis dan kerudung itu menenteng sebuah tas belanja yang terlihat berat. Anggita menganggukkan kepala pelan memberi salam pada pengurus panti tempat Oma Alex tersebut.

“Nak Anggita kenapa berdiri disini? Mau menjenguk Oma?” tanya Bu Lasti dengan senyum hangat penuh keibuan. Anggita kembali mengangguk.

“Nak Alex mana?” tanya perempuan itu lagi.

“Sa- saya datang sendiri, Bu,” lirih Anggita lalu menundukkan kepala.

Bu Lasti tersenyum seraya mengelus pundak Anggita. “Ayo masuk!” ajaknya.

Black and White Butterflies (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang