Demi semua aliran darah di setiap inci pembuluh nadiku, demi semua rasa sakit yang telah mendarahdaging di tubuhku.
Mulai saat ini aku adalah kupu-kupu hitam yang tidak akan berhenti mengecap setiap tetes madu dari rasa sakit ini.
Aku adalah kupu-kupu yang terbuang dan telah bebas.
*****
“Saya Lita, Pak. Saya datang berkunjung untuk mencari tahu keadaan Anggita.” Lita berdiri seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Hendra tak bergeming dari tempatnya. Tatapannya semakin tajam seolah siap membelah tubuh Lita menjadi dua bagian. Lita mencoba meneguk ludahnya yang terasa pahit.
“Untuk apa mencari Anggita?” tanya Hendra masih dengan nada tidak bersahabat.
Lita menguatkan hati agar tidak terlihat gentar. Melihat situasi yang sedang dihadapi, ia bisa menebak siapa pria di depannya. Tadi Mutia menyebutnya sebagai majikan. Itu berarti pria sangar di depannya adalah ayah Anggita.
“Saya perlu mengetahui keadaan siswa saya ketika dia tidak hadir ke sekolah untuk belajar. Saya ….”
“Berhenti mencampuri urusan orang lain. Anggita ke sekolah atau tidak bukan urusanmu,” potong Hendra. Kedua bola matanya memerah karena emosi.
Lita hendak menyanggah ucapan Hendra, tetapi Mutia diam-diam mencegah guru muda itu dengan menggamit tangannya pelan. Lita menoleh ke arah Mutia dan wanita bertubuh tambun itu menggeleng pelan. Lita paham. Ia tidak bisa mencari masalah di rumah orang. Ini bukan wilayah sekolah dimana ia bisa melakukan konfrontasi seenaknya. Apalagi melihat gelagat tidak bersahabat pria di depannya.
“Maafkan saya, Pak. Kalau begitu saya pamit pulang. Terima kasih.” Lita meraih tas kerja diatas sofa kemudian melangkah melewati Hendra yang masih menatapnya tajam.
Dari ekor matanya, Lita bisa menangkap bayangan Anggita berdiri di tangga menuju lantai dua. Namun, Lita tidak akan memaksakan situasi untuk menemui remaja itu. Ia hanya berharap besok Anggita akan datang ke sekolah.
Mutia mengantar Lita hingga ke depan pagar.
“Maafkan sikap majikan saya, Bu. Mungkin lagi ada masalah di kerjaan makanya rada emosi,” tukas Mutia dengan raut penuh sesal.
“Apakah … ayah Anggita sering berlaku kasar seperti itu pada Anggita?” Lita tak bisa membendung rasa penasaran dengan mengajukan pertanyaan tersebut.
Mutia terdiam sesaat. Lita bisa membaca raut sendu yang terukir di wajah wanita paruh baya itu. Lita berharap Mutia akan mengatakan sesuatu terkait majikannya tersebut.
“Sebenarnya … Tuan Hendra memang sering berlaku kasar kepada Non Anggita. Tetapi … tetapi saya tidak bisa mengatakan di sini sekarang. Saya khawatir tuan semakin marah.”
Lita tersenyum. “Tidak apa-apa, Bu. Mohon untuk membujuk Anggita agar masuk sekolah supaya dia tidak ketinggalan pelajaran.”
“Baik, Bu.”
Lita berbalik pergi. Begitu pula dengan Mutia yang buru-buru menutup pintu pagar dan masuk tergopoh-gopoh. Lita masih bisa mendengar teriakan pria sangar tadi memanggil nama Mutia. Lita hanya bisa menggeleng-geleng kepala.
Hari ini ia gagal memastikan keadaan Anggita. Ia akan mencoba menggali informasi lebih dalam lagi pada pembantu tadi di kesempatan berikutnya. Semoga belum terlambat hingga waktu rapat nanti.
***
Anggita mengamati kepergian Lita dari tangga menuju lantai dua. Ia hanya menatap datar sang ayah yang kini melangkah menuju dapur. Luapan emosi masih terpancar di wajah pria itu. Sejenak tatapan mereka bersirobok sebelum Anggita mengalihkan pandangan dan memilih kembali ke kamarnya. Tak lupa ia mengunci pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White Butterflies (TAMAT)
Novela JuvenilBlurb Talita Nadine menjadi guru konseling baru di salah satu sekolah yayasan bernama SMA Tirta Bakti. Alasan Lita melamar menjadi guru di sana agar bisa terbebas dari rongrongan keluarga ayahnya yang selalu memperlakukannya tidak adil. Di sekolah i...