Chapter 12. Black in Love

19 12 1
                                    

Benci adalah sisi hitam dari cinta
Ketika cinta tak mampu memenangkan hatinya, maka kebencian akan menggantikannya

*****

Seminggu setelah membuat tato terakhir, Anggita kembali ke House of Tattoo. Seperti biasa ia harus menunggu karena pemuda yang datang bersamaan dengannya minggu lalu juga ada di sana. Anggita hanya menduga dalam hati jika pemuda itu juga selalu datang seminggu sekali untuk membuat tato.

Anggita kembali duduk di bangku panjang, bermain dengan gawainya. Kali ini ia menggulir berita pernikahan salah satu pengusaha ibukota. Beritanya viral karena pengusaha tersebut disebut-sebut sebagai salah satu pengusaha yang sukses di usia muda dengan cabang usaha di beberapa kota. Wajah pengusaha itu terbilang menarik, mungkin karena karisma yang terpancar dari auranya.

Namun, bukan figur pengusaha itu yang menarik perhatian Anggita untuk membaca berita pernikahan yang digadang-gadang termasuk pernikahan termewah tahun ini. Matanya terpaku pada wajah mempelai wanita pasangan sang pengusaha. Wajah yang selalu menemani mimpinya selama bertahun-tahun. Wajah yang sangat dirindukan sekaligus sangat dibenci olehnya.

Alisia.

Wanita yang telah berperan besar menghadirkan dirinya ke dunia ini untuk menjadi anak yang tidak diinginkan oleh seorang Hendra Wibowo. Meskipun ia menyandang nama belakang pria itu, tetapi dirinya dianggap tidak pernah ada dalam kehidupannya.

Anggita meremas gawai erat, sorot matanya tetap dingin seperti biasa. Menyorot senyum indah Alisia dalam potret pernikahannya yang tersebar di beberapa halaman berita. Senyum yang pernah membuat sang ayah jatuh dalam pesonanya. Kini, senyum itu dipersembahkan untuk lelaki lain.

“Mau buat tato lagi, Neng?” 

Anggita mengangkat wajahnya hingga bertemu pandang dengan Yanto yang berdiri di depannya. Ternyata Yanto sudah menyelesaikan pekerjaannya pada pemuda tadi.

Anggita mengangguk pelan dengan bibir masih membentuk garis lurus. Gadis itu beranjak dari duduk menuju sofa panjang nyaman khusus pembuatan tato. 

Tanpa memedulikan keadaan sekitar, Anggita membuka jaket hoodie abu-abu di tubuhnya, menampilkan tubuh gadis remaja dengan fitur yang tidak bisa dibilang seksi dibalut singlet hitam sebatas perut. Perut dan lengannya begitu kurus. 

Anggita berbaring setengah tengkurap di atas sofa dengan bantal kecil menyangga dada. Yanto terkejut menatap punggung setengah terbuka gadis itu yang menampilkan beberapa gurat bekas luka lama yang sangat kentara. Bahkan, ada satu bekas luka lebih lebar.

“Aku mau tato kupu-kupu hitam di seluruh permukaan bekas luka yang paling besar dan tulisan ini di bagian bawahnya,” ujar Anggita pelan. Ia menyodorkan selembar kertas dengan sebaris frasa berbahasa Inggris di atasnya.

Yanto hanya tertegun mendengar ucapan gadis yang kini tengkurap tanpa menatap dirinya. Pria berkepala plontos dengan tato memenuhi lehernya tersebut menghela napas sejenak sebelum mengambil kertas di tangan Anggita.

“Ini akan terasa sakit, Neng, karena dekat dengan tulang dada bagian belakang,” pungkas Yanto sembari merakit jarum di mesin tato.

“Gak apa-apa, Bang. Aku suka rasa sakitnya,” gumam Anggita yang masih bisa didengar oleh Yanto.

Pria itu kembali terdiam. Yanto bisa merasakan getar kepedihan dalam suara gadis remaja itu. Yanto bukan orang yang tidak peka, tetapi ia adalah pria yang akrab dengan anak-anak yang memiliki kehidupan keras. Anggita mungkin sama dengan Alexandro, walaupun kasus mereka bisa jadi berbeda. Anak-anak yang berjuang untuk bertahan dalam kejamnya dunia. Anak-anak yang datang kepadanya untuk menyembuhkan luka mereka dengan sebuah gambar yang menceritakan kisah kelam mereka.

Black and White Butterflies (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang