Chapter 16. Black in Torment

12 9 0
                                    

*****

Kamu mau buat tato lagi?” Alex mengernyit melihat Anggita yang telah duduk tenang di bangku panjang milik House of Tattoo

Anggita menunduk menyembunyikan wajahnya yang masih menyisakan memar dari Alex. Ia tidak ingin pemuda melihat air mukanya yang sedang tidak baik-baik saja hari ini.

“Anggita, please, berhenti membuat tato. Apakah kamu tidak merasa kesakitan dengan tusukan jarum itu? Lagi pula, apa kata orang melihat anak cewek memiliki tato di tubuhnya?” tandas Alex dengan suara tegas.

Anggita menengadah menatap Alex dengan sorot tidak senang. “Bukan urusanmu.”

“Anggita, aku memberikan nasihat sebagai teman,” sambar Alex juga merasa tidak senang dengan tatapan gadis remaja itu. 

“Kita memang menghabiskan waktu bersama akhir pekan lalu, tetapi bukan berarti kita telah dekat sebagai teman yang saling mengurusi urusan satu sama lain,” dengus Anggita dingin.

Gadis itu beranjak dari duduknya meninggalkan Alex yang terpaku di tempatnya. Ia tidak percaya jika Anggita akan berkata seperti itu. Ia mengira sudah mulai dekat dengan gadis itu setelah kebersamaan mereka ketika menjenguk omanya di panti.

“Si Eneng kenapa?” tanya Yanto yang baru saja keluar dari kamarnya.

Alex terdiam. Ia pun tidak mengerti apa yang terjadi dengan Anggita.

***

Anggita mengayun langkah lebar menuju sebuah gang buntu yang menjadi tempat ia bersembunyi dari dunia. Takada siapa-siapa di sana yang akan melihat kegundahannya, juga air matanya. 

Ia bersandar pada dinding penuh mural. Menarik sebungkus rokok kemudian mengeluarkan sebatang kretek berwarna putih. Sejurus kemudian, asap rokok telah membumbung ke udara. Anggita menyedot kretek kuat-kuat, lalu mengembuskan asapnya ke udara. Asap putih itu melingkupi pandangannya yang mulai mengabur oleh air mata.

Rasanya baru beberapa saat hatinya merasa senang dan ia mulai mencoba membuka hatinya untuk berdamai dengan keadaan, tetapi kenyataannya keadaan belum mau berdamai dengannya.

Masih terbetik dalam ingatannya bagaimana seorang yang ia anggap sebagai seorang nenek kembali meruntuhkan kepercayaan dirinya saat ia bertemu beberapa hari yang lalu ini. Anggita meraba bekas luka yang membujur di pelipisnya. Rasa sakit luka itu semakin menambah dalam luka hatinya.

***

“Mana Anggita?” Sebuah suara tegas penuh tekanan menggema dari ruang tamu. Mutia datang tergopoh-gopoh menghampiri ibu sang majikan.

“Non Anggita ada di kamarnya, Bu,” jawab Mutia terbungkuk-bungkuk. Anggita yang berdiri di puncak tangga dapat mendengar percakapan dari ruang tamu.

“Panggil dia kemari,” titah nenek Anggita.

“Baik, Bu.” 

Mutia segera berbalik menaiki tangga ke lantai dua. Perempuan tambun itu mendapati Anggita sedang turun dengan langkah pelan. Raut khawatir takbisa disembunyikan dari wajah perempuan yang telah merawat Anggita penuh kasih.

Anggita melangkah mendekati ruang tamu diikuti Mutia di belakangnya. Di atas sofa, nenek Anggita yang masih terlihat segar dan cantik meskipun telah berusia lebih dari setengah abad. Sejumput uban menyembul dari rambut yang tersanggul rapi di atas tengkuknya. Tatapannya menghunus tajam ke arah Anggita yang juga menatapnya dengan raut gugup yang berusaha disembunyikan oleh gadis remaja itu. 

Black and White Butterflies (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang