Chapter 7. White in Paint

28 14 4
                                    

Jika sebuah gambar bisa mewarnai duniamu
Untukku, sebuah gambar bisa menutupi lukaku


*****

Lita sulit memejamkan mata, padahal malam kian larut. Ingatannya sibuk memutar ingatan tentang kejadian pagi tadi. Sungguh hal tak terduga melihat penampilan baru Anggita hari ini. Penampilan yang tak lazim bagi seorang siswa. Tak lazim di sini karena tak sesuai dengan aturan sekolah. Mungkinkah Anggita mulai memberontak dari keadaan yang membelenggunya? pikir Lita.

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam, tetapi Lita masih setia bolak-balik di atas kasir tipis yang tergeletak diatas lantai kamar kosnya. Ketika ia tak bisa mengurai benang kusut di pikirannya, Lita bangun kemudian meraih laptop yang terparkir apik di atas meja belajar.

Hanya dalam hitungan detik, Lita telah berselancar di dunia maya, berusaha menemukan informasi berharga yang bisa memberikan titik terang dari semua dugaannya selama ini. Sekecil apa pun informasi tersebut.

Lita baru bisa memejamkan mata pukul dua dini hari saat kelopak matanya benar-benar sudah sepat. Sebelum terlelap, Lita masih memikirkan cara untuk masuk dalam kehidupan Anggita.

***

Anggita menatap tato gambar sayap kupu-kupu di pundak dekat dada sebelah kanan. Hanya sebelah sayap kupu-kupu bagian kiri. Jemari tangan kirinya membelai tato yang menutupi sebuah bekas luka tersebut dengan penuh kasih sayang. Seulas senyum tipis terbit di bibirnya.

“Besok sayapmu akan bertambah satu lagi,” gumam Anggita. Senyum manis belum pudar dari bibirnya. 

“Kamu harus bersikap baik ya. Jaga dia agar tetap di sana.” Anggita masih menggumam. 

Anggita berdiri tegak, menatap lekat pantulan dirinya yang sedang berdiri setengah telanjang di depan cermin besar dalam kamarnya. Gadis yang kini telah berambut pendek tersebut hanya mengenakan bra dan celana dalam sporty. 

Perlahan jemarinya menelusuri jejak-jejak luka di tubuhnya. Ada beberapa luka bakar rokok di bagian dada hingga pundak, juga paha bagian dalam. Beberapa luka sobek akibat cambukan di punggung. Ada juga sayatan di lengan atas. Semua itu adalah bentuk kekejaman Hendra pada putrinya. 

Setiap kali Hendra pulang dalam keadaan mabuk karena kesal pada mantan istrinya, maka semua gejolak emosi diluapkan pada Anggita kecil yang sama sekali tak bisa melawan. Gadis kecil yang malang itu hanya bisa terisak kesakitan, takut menjerit, atau meminta tolong karena sang ayah akan semakin menyakitinya.

Luka-luka itu telah sembuh, namun, masih meninggalkan jejak ingatan rasa sakit di pikiran Anggita. Rasa sakit karena tidak diinginkan oleh ayah dan kakek neneknya, membuat luka yang lebih besar lagi di hati Anggita. Seperti ada lubang menganga di sana. Siap menelan semua kepercayaan dirinya.

Dengan kasar Anggita menyugar rambut berpotongan pendek sembari mengamati luka yang belum sepenuhnya sembuh di pipi kirinya. Berkat Ibu Sofia luka itu kembali terbuka dan butuh lama untuk sembuh. Namun, entah mengapa Anggita justru senang dengan sensasi rasa sakit ketika darah menguncur dari luka tersebut.

“Kamu tunggu giliran ya. Tunggu sampai kamu sembuh total. Nanti aku akan mempercantik kamu dengan tato yang lebih bagus. Yang ada tulisannya. Hm, mungkin kata bitch bagus ditato di sana supaya Papa lebih puas.”

Anggita terkekeh. Sorot matanya menyiratkan rasa lapar akan sesuatu. Tubuhnya yang telah kenyang dengan luka fisik kini merasa lapar akan rasa sakit. Separuh hidupnya telah mencicipi rasa sakit yang membuatnya kecanduan dengan rasa sakit itu. Rasanya seperti ekstasi. Jika ia tak mencicipinya lagi maka akan terasa menyesakkan dada.

Black and White Butterflies (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang