If I could hide my pain behind the shade
Then, I would buy a black shade for it*****
Anggita berjalan perlahan menyusuri koridor depan kelas seraya menekuri lantai. Ekor matanya sesekali menangkap tatapan siswa-siswa lain yang menatapnya dengan satu ekspresi yang sama. Ekspresi ngeri. Anggita yakin perban di wajahnya yang membentuk ekspresi mereka. Tetapi Anggita tak peduli.
Beberapa hari tidak masuk sekolah cukup membuat gendang telinga Anggita sakit mendengar bisik-bisik teman-temannya yang kadang menyentil namanya. Semenjak dia menjejakkan kaki di gerbang sekolah hingga dia duduk di bangku ruang kelas, berbagai omongan tidak mengenakan menusuk telinganya.
“Ih, serem ya. Katanya dia mencoba bunuh diri lagi,” bisik salah satu siswi yang berdiri bersandar di pilar gedung kepada teman di depannya. Bisikannya tidak bisa dikatakan bisikan karena Anggita bisa mendengar ucapan sinis itu ketika ia melewati mereka.
“Lihat perban di wajahnya. Jangan bilang dia sudah gila mau bergaya seperti Kapten Jack dengan luka di wajah. Biar apa coba. Biar dibilang menyeramkan,” timpal siswa satunya sarat dengan nada menyindir.
Anggita menatap tajam kedua siswa penggosip tersebut. “Kalian tidak tahu apa-apa tentangku. Jangan mengatakan hal-hal bullshit di depanku atau di belakangku. Kalau tidak aku akan merobek mulut kalian,” sergah Anggita penuh ancaman. Kedua siswa tersebut mundur dengan wajah sedikit memucat.
Kali ini dia tidak akan tinggal diam dengan semua ucapan kotor mereka. Apa yang mereka katakan benar, tetapi mereka tidak punya hak memaki dirinya ketika mereka tidak tahu apa-apa.
Dering bel tanda masuk menggema seantero sekolah. Para siswa yang sedang nyaman bercengkrama di kantin dan taman sekolah langsung berhamburan masuk ke dalam kelas. Begitu juga dengan Anggita yang bergerak pelan layaknya siput yang sedang lapar. Kakinya menapaki tangga demi tangga menuju lantai dua tempat kelasnya berada. Suasana hening menyambut Anggita ketika dia masuk ke dalam kelas. Di depan kelas, Lita memperhatikan Anggita yang bergerak menuju tempat duduknya di barisan paling belakang juga paling pojok.
“Anak-anak, selamat pagi semua. Ini masih jam sepuluh ya,” sapa Lita yang disambut senyum oleh semua siswa. “Sebelum kita mulai mari berdoa bersama. Mulai!” Semua siswa menundukkan kepala setelah Lita menyelesaikan instruksi awal.
Selesai berdoa, Lita kembali mengedarkan pandangan ke penjuru kelas. Matanya tertumbuk pada Anggita yang terus menunduk. Wajahnya tertutup rambut panjangnya sehingga Lita menduga jika anak itu tertidur.
“Anggita,” panggil Lita. Tak ada sahutan. “Anggita,” ulang Lita dengan suara sedikit keras. Anggita mengangkat wajahnya bingung mendengar Lita memanggil namanya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Lita. Matanya terpaku pada perban besar di pipi kiri gadis itu.
Anggita semakin mengernyit. Baru kali ini ada guru yang memanggil namanya di dalam kelas. Bahkan, guru itu menanyakan keadaannya. Anggita balas menatap wajah Lita dengan raut yang sulit dipahami oleh Lita. Guru muda itu akhirnya mengalihkan atensi para siswa yang mulai grasak-grusuk ke materi pelajaran.
“Baiklah, sesuai dengan permintaan Ibu minggu lalu, hari ini kalian harus mengumpulkan angket tentang bakat dan kemampuan yang sudah Ibu bagikan. Silahkan!” pinta Lita dengan senyum tipis.
Semua siswa beranjak mengumpulkan lembar angket masing-masing, kecuali Anggita yang masih setia berdiam di tempatnya.
Selama empat puluh menit selanjutnya Lita menjelaskan materi dengan apik. Siswa memusatkan perhatian mereka pada Lita. Begitu pula dengan Anggita yang diam-diam mengamati guru baru tersebut dengan saksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White Butterflies (TAMAT)
Teen FictionBlurb Talita Nadine menjadi guru konseling baru di salah satu sekolah yayasan bernama SMA Tirta Bakti. Alasan Lita melamar menjadi guru di sana agar bisa terbebas dari rongrongan keluarga ayahnya yang selalu memperlakukannya tidak adil. Di sekolah i...