*****
Rasanya melegakan setelah pembicaraan intim mereka beberapa hari yang lalu. Lita yakin bahwa Anggita sudah bisa membuka diri, meskipun belum sepenuhnya. Lita belum bisa melupakan bayangan tato di punggung Anggita. Hal yang sangat tabu untuk anak seusia remaja itu, terutama negara ini bukan negara liberal seperti Amerika, dimana anak remaja sudah bebas melakukan hal yang mereka senangi asal tidak merugikan orang lain.
Dalam kasus ini, Anggita memang melakukan tato bukan untuk gaya-gayaan atau sebagai aksesoris tubuh, melainkan sebagai bentuk pelampiasan akan tekanan mental yang sulit ia atasi sendiri. Tato itu permanen dan akan menempel di tubuh Anggita selamanya. Bagaimana jika kelak ia akan menikah dan pria yang akan mempersuntingnya keberatan dengan tato tersebut. Belum lagi pandangan orang-orang yang menganggap orang bertato sebagai orang yang buruk, apalagi ia seorang perempuan. Kecuali kelak pria itu benar-benar mencintai Anggita dan bisa menerima apa adanya. Atau, Anggita berniat melakukan penghapusan tato nantinya. Namun, menghapus tato sama sakitnya dengan pembuatan tato itu sendiri. Lita bergidik ngeri membayangkannya.
Perlahan Lita menyusun rencana untuk pemulihan kesehatan Anggita. Bukan cuma kesehatan mentalnya yang benar-benar butuh usaha keras, kondisi gizi Anggita juga perlu diperbaiki. Guru muda itu yakin kalau Bu Mutia telah berusaha menyediakan makanan yang layak untuk anak itu. Akan tetapi kondisi mentalnya mempengaruhi nafsu makan Anggita juga. Lita selalu menatap miris tubuh Anggita yang kurus dan tipis, tidak seperti anak seusianya yang rata-rata memiliki tubuh yang mulai berkembang. Anggita sampai memiliki dada yang sangat rata mirip lelaki. Bisa jadi kelambatan perkembangan tubuhnya karena asupan gizi yang kurang.
Lita sudah membuat janji dengan Dokter Sarah minggu depan. Dua hari yang lalu, Lita mencoba berbicara lagi dengan Anggita dari hati ke hati. Gadis remaja itu hanya mengangguk ketika Lita mengajaknya bertemu dengan psikolog kenalannya.
“Hanya berkenalan saja untuk menambah teman,” kata Lita saat itu untuk meyakinkan Anggita.
Gadis kurus itu menyanggupi asalkan Lita tidak meninggalkannya sendiri. Meskipun Anggita sudah mencoba membuka diri, tetapi bukan berarti ia sudah merasa nyaman dengan segala interaksi dengan orang lain. Rasa khawatir dan tertekan masih bergelayut di hatinya. Sejauh ini, hanya pada Lita dan Oma Alex dia bisa merasa nyaman untuk mengungkapkan perasaannya.
***
Akhir pekan datang lagi. Seperti biasa Lita ke gereja di Minggu pagi setelah berolahraga lari keliling taman bermain. Ia tak lupa mengajak Anggita yang bangun ogah-agahan dari balik selimutnya. Bahkan, gadis itu juga berlari ogah-ogahan dengan mulut yang tak berhenti menguap. Sebenarnya Lita kasihan, tetapi Anggita harus dibiasakan hidup sehat dan teratur agar proses pemulihannya berjalan baik.
Lita kembali bertemu Victorian Arselo alias Pak Rian si guru olahraga di gereja. Keduanya saling menyapa seperti biasa setelah kegiatan ibadah. Lita sempat terpesona melihat Rian yang tampak keren dengan kemeja hitam lengan panjang bercorak batik emas minimalis. Kedua lengan bajunya digulung rapi hingga siku. Tak lupa rambutnya yang bergelombang disisir rapi sedemikian rupa tanpa meninggalkan kesan maskulin seorang pria muda. Lita bersiul dalam hati mengagumi Rian.
Pria itu menawarkan tumpangan pulang kepada Lita. Guru muda itu bersorak dalam hati karena ia bisa menghemat biaya angkutan umum.
Rian mengantar Lita sampai di depan warung langganan gadis itu. Lita harus membeli lauk untuk makan siang sekaligus beberapa bahan untuk memasak makan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White Butterflies (TAMAT)
Teen FictionBlurb Talita Nadine menjadi guru konseling baru di salah satu sekolah yayasan bernama SMA Tirta Bakti. Alasan Lita melamar menjadi guru di sana agar bisa terbebas dari rongrongan keluarga ayahnya yang selalu memperlakukannya tidak adil. Di sekolah i...