Terkadang lebih mudah menghakimi dari pada mencari tahu kebenarannya.
*****
“Sebenarnya … Anggita masuk rumah sakit sejak akhir pekan lalu,” tukas Lita untuk meredam ucapan liar yang kian memojokkan Anggita.Semua menoleh dengan raut terkejut pada Lita, tak terkecuali Pak Mirwan, pimpinan mereka.
“Apa maksud Ibu Lita?” tanya Pak Mirwan dengan raut cemas.
“Saya tidak akan menceritakan detail masalah yang dialami Anggita, tetapi kita tidak boleh menghakimi keadaan seseorang tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya,” pungkas Lita menyorot wajah Ibu Sofia.
Ibu Sofia memalingkan muka menghindari bersitatap dengan Lita, sementara guru-guru lain memilih diam untuk mendengarkan penjelasan dari Lita.
“Akhir pekan lalu Anggita mengalami penganiayaan dari ayahnya. Dia mengalami memar parah di dada kiri dan punggung. Beruntung, tidak ada tulang rusuk yang patah. Pengasuhnya, Ibu Mutia, menelepon saya untuk membawa anak itu ke rumah sakit. Dia tidak sadarkan diri selama sehari semalam,” ungkap Lita serius.
Semua yang hadir terkesiap mendengar cerita Lita. Bahkan, ada yang langsung menyumpahi ayah Anggita.
“Apa pokok persoalannya hingga ayahnya menganiaya Anggita?” tanya Pak Mirwan kian khawatir.
“Saya tidak tahu tepatnya karena Bu Mutia enggan menceritakannya,” jawab Lita lugas.
Tentu saja Lita tidak akan menceritakan secara gamblang di depan semua orang masalah yang dihadapi Anggita. Mungkin sebagian besar akan bersimpati dengan keadaan Anggita, tetapi bisa jadi ada yang akan bereaksi sebaliknya. Tujuan utamanya kali ini adalah menyembuhkan tekanan mental Anggita, menyelamatkan remaja tersebut dari lingkungan yang bisa jadi membuat dirinya bertindak nekat.
Tangisan dan raungan kesedihan Mutia sudah cukup bagi Lita untuk membaca apa yang telah dilalui Anggita. Ia pun pernah berada di posisi yang sama dengan anak itu, pernah menjadi pecundang dalam hidup ini, pernah didera luka bertubi-tubi sehingga tidak yakin lagi jika semua luka itu akan sembuh.
Andai pun Anggita sembuh dari luka fisiknya, maka mentalnya sudah rapuh dan siap untuk hancur berkeping-keping kapan pun.
“Jadi, bagaimana keadaan Anggita sekarang?” Kali ini Ibu Marlina melontarkan pertanyaan dengan rasa cemas yang sama.
“Anggita … sepertinya sudah keluar dari rumah sakit,” jawab Lita ragu. Terakhir kali ia menjenguk remaja itu dua hari yang lalu.
“Mengapa Ibu Lita tidak memberitahu tentang keadaan Anggita,” keluh Ibu Marlina dengan nada tidak senang. “Bagaimanapun ia siswa kita dan kita bisa menjenguknya.”
Beberapa guru membenarkan ucapan guru senior tersebut. Lita terdiam sesaat, bingung harus mengatakan alasan yang tepat.
“Saya mohon maaf Pak Kepsek, saya tidak memberitahukan kondisi Anggita yang masuk rumah sakit karena … ini permintaan wali Anggita, Ibu Mutia,” ujar Lita.
Rekan-rekan guru Lita masih melayangkan protes kecil, tetapi Lita memilih bungkam. Ia hanya menghormati permintaan Ibu Mutia. Masalah keluarga Wibowo sangat pelik, pembantu rumah tangga mereka hanya mencoba melindungi nama baik majikannya. Jika masalah penganiayaan itu tersebar keluar, tentu saja orang yang pertama kali dicurigai adalah Ibu Mutia. Perempuan bertubuh tambun itu bisa saja didepak dari rumah itu. Bagaimana nasib Anggita nanti? Siapa lagi yang akan melindungi gadis malang itu? Itu hanya sekelumit dari beberapa alasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White Butterflies (TAMAT)
Novela JuvenilBlurb Talita Nadine menjadi guru konseling baru di salah satu sekolah yayasan bernama SMA Tirta Bakti. Alasan Lita melamar menjadi guru di sana agar bisa terbebas dari rongrongan keluarga ayahnya yang selalu memperlakukannya tidak adil. Di sekolah i...