*****
Anggita duduk menunggu di sebuah kursi rotan yang mulai kusam dan terkelupas. Warna asli rotan yang tertutup cat warna hitam mulai tampak. Ia mengamati salah satu pemuda penggambar tato yang kini sedang serius melukis dengan mesin tato. Kliennya adalah seorang pemuda yang lebih muda usianya dengan rambut gondrong bergelombang. Sorot mata pemuda itu begitu tajam dibingkai oleh alis tebal lurus. Saat ini sepasang alis itu sedang berkerut dalam seolah menyembunyikan rasa sakit pada permukaan kulit yang ditato.
Anggita memperhatikan gerak-gerik kedua orang itu. Alis tipisnya ikut berkerut setiap kali pemuda yang ditato meringis karena sensasi sakit pada otot dadanya.
“Masih bisa tahan sakit, Lex?” ujar Yanto, si pria pelukis, dengan raut jenaka.
“Masihlah, Bang,” jawab si pemuda itu dengan nada yakin.
“Aku masih punya satu pelanggan lagi,” tukas Yanto yang sering dipanggil Abang oleh para kliennya.
Pemuda yang bernama Alexandro itu menoleh pada Anggita yang masih menatap sendu dari bawah bulu matanya yang lentik. Alis sebelah kiri pemuda itu naik beberapa milimeter.
“Cewek, Bang? Kaya masih anak sekolahan,” timpal Alex santai.
“Menurutmu?” sambung Yanto.
“Kurus amat. Emang dia bisa tahan sakit ditato?” ujar Alex sangsi. Ia mengamati Anggita dari sudut matanya.
“Beberapa hari yang lalu dia minta ditato di dekat pundak. Dia tahan sakit, lho,” pungkas Yanto kembali memainkan mesin lukis di atas kulit dada Alex. “Dia malah terlihat menikmati rasa sakit tusukan jarum.” Kali ini Yanto sedikit berbisik agar Anggita tidak menangkap percakapan mereka.
“Serius, Bang. Apa … dia punya fetish terhadap rasa sakit,” duga Alex.
Yanto menatap pemuda di depannya dengan raut bingung. “Apaan tuh?”
Alex mengangkat kedua alis lebatnya sebelum menjawab. “Semacam memuja rasa sakit hingga ke tahap sangat menikmati.”
Yanto membulatkan mulutnya seraya manggut-manggut. Sementara Anggita kini asyik bermain game di gawai. Ia tidak mengindahkan dua pria yang sedari tadi menggumam tidak jelas.
Setelah menunggu setengah jam, akhirnya Yanto selesai mengerjakan tato milik Alex. Pria dengan leher dan lengan penuh tato itu menghampiri Anggita.
“Mau buat tato lagi, Neng?” tanya Yanto basa-basi. Senyum hangat terbit dari bibirnya yang menghitam karena kretek.
Anggita mengangguk kecil lalu menundukkan kepala. Seperti biasa ia hanya akan mengangguk tanpa bicara banyak. Untuk kesekian kali Yanto mengernyit melihat tingkah laku pelanggan barunya tersebut.
Gadis ceking itu-- seperti kata Alexandro, menjadi pelanggannya tiga hari yang lalu. Yanto ingat, saat itu Anggita datang dengan seragam sekolah, rambutnya berantakan seperti celak hitam di lingkaran matanya.
Ia menunjukkan sebuah gambar sayap kupu-kupu hitam dan meminta hanya menato sebelah sayap. Yanto hanya menyanggupi saja. Sebagai seorang professional tattoo painter, Yanto tidak pernah banyak tanya dengan keinginan pelanggan.
“Mau mulai sekarang, Neng?” tanya Yanto. Anggita kembali mengangguk.
Yanto menyilakan gadis itu duduk di tempat Alex duduk sebelumnya. Sedangkan Alex pindah duduk di sebuah bangku panjang, sambil sesekali melirik Anggita.
Yanto mengambil salah satu mesin rotary tattoo yang telah dipasangi jarum baru yang steril. Sejenak pria itu memandang wajah Anggita yang terlihat tenang sebelum mulai menggambar apa yang diminta gadis itu.
Pria bertato itu menangkap kerutan samar di wajah Anggita seolah menahan rasa sakit akibat deraan puluhan jarum yang berputar cepat di permukaan kulitnya, menembus pori-pori terdalam. Yanto berhenti sejenak mengamati area pundak yang kembali di tato. Pria itu baru menyadari jika permukaan kulit itu adalah sebuah bekas luka yang cukup dalam. Tubuhnya kurus dengan permukaan kulit halus dan tipis. Jarum akan tertancap dalam dan pasti akan menggesek tulang selangka. Cukup beresiko bagi gadis remaja rapuh itu. Ia khawatir gadis itu tidak bisa menahan sakit lebih.
“Lakukan, Bang. Aku tidak merasa sakit. Rasanya menyenangkan,” lirih Anggita dengan senyum tipis di bibirnya. Yanto menatap kedua netra sendu gadis itu. Ada jeritan rasa lapar di kedalaman pekat itu.
Yanto kembali melukis dengan tenang di atas permukaan kulit putih mulus tersebut. Kini warna putih itu telah berganti menjadi kemerahan.
Anggita memejamkan mata, meresapi sensasi rasa sakit yang menusuk-nusuk di sana. Semakin sakit semakin menyenangkan.
“Hah, ini lebih menyenangkan dari pada sedutan rokok atau cambukan ikat pinggang,” desah Anggita lirih. Senyum tak lepas dari bibirnya mengantar semua ingatan akan rasa sakit yang dideritanya bertahun-tahun.
***
Lita sedang fokus memberi materi di dalam kelas. Sesekali matanya melirik ke arah bangku kosong milik Anggita. Rasa penasaran menyeruak ke dalam hatinya.
Kemarin ia melihat Anggita baik-baik saja, sehat walafiat. Tetapi, hari ini dia malah tidak masuk sekolah.
Mungkin hari ini ia perlu berkunjung ke rumah Anggita. Melihat jumlah ketidakhadiran yang diajukan wali kelas XI D, sangat wajar jika Lita harus mencari keberadaan siswa tersebut. Mengharapkan orang tua Anggita akan datang memenuhi panggilan wali kelas adalah hal mustahil. Dapat dipastikan pembantu rumah tangga yang akan dikirim ke sekolah.
Lita menghela napas lelah. Baru seminggu mengajar, pikirannya sudah penuh, bahkan meluap memikirkan nasib para siswa yang bermasalah. Bukan hanya Anggita seorang. Ada sekitar lima anak yang membutuhkan konseling pribadi dan sisanya hanya perlu konseling kelompok. Belum lagi yang merengek lebay karena bingung cara mengisi angket karir masa depan. Walaupun ia bisa berbagi tugas dengan Ibu Arum, tak pelak Lita harus memijit pelipis setiap hari.
Bunyi bel tanda pulang berbunyi. Anak-anak berteriak senang lalu berhamburan keluar kelas. Saling dorong-dorongan di pintu tak dapat dihindarkan lagi. Lita hanya bisa menggeleng kepala melihat polah tingkah siswa-siswi tersebut.
Lita baru saja mengempaskan tubuh di atas kursi kerja ketika Ibu Arum mendekatinya.
“Bagaimana penanganan Anggita? Ibu Sofia mengadu pada Pak Mirwan, apalagi Anggita beberapa kali tidak masuk sekolah semester ini. Kemungkinan nanti akan diadakan rapat untuk mengevaluasi kehadiran dan kasus siswa. Jika Ibu Sofia berkeras, Anggita bisa terancam dikeluarkan dari sekolah,” sergah Ibu Arum panjang lebar. Wajah lembut khas perempuan Jawa itu terlihat sangat serius.
Lita menatap Ibu Arum sama seriusnya sebelum menanggapi laporan koleganya tersebut.
“Saya akan mengunjungi rumah Anggita. Selama ini wali kelas belum serius menangani masalah anak itu. Durasi kunjungan juga sangat sangat kurang. Bukan hanya Anggita, beberapa anak juga akan mendapatkan kunjungan yang sama untuk mengumpulkan informasi akurat sebagai bahan pertimbangan dalam rapat nanti. Saya tidak rela anak-anak itu diskors apalagi sampai dikeluarkan dari sekolah sebelum kita melakukan treatment yang benar pada mereka. Kita harus mengambil tanggung jawab kita.”
Ibu Arum mengangguk setuju. Perempuan berkerudung itu senang mendapat kolega seperti Lita yang tanggap dan sensitif dengan masalah siswa. Pekerjaan sedikit terbantu dan ia memiliki teman diskusi yang tepat.
“Kapan Ibu Lita akan berkunjung,” tanya Ibu Arum.
“Siang ini sepulang sekolah. Saya juga ingin menyelidiki sesuatu. Saya melihat Anggita mengunjungi toko pembuatan tato. Ada sesuatu yang berbeda dengan anak itu sekarang. Dia hampir tidak bisa tertolong jika dibiarkan,” jawab Lita dengan suara pelan. Takut ucapannya didengar oleh guru lain.
“Semoga semuanya baik-baik saja,” ujar Ibu Arum cemas.
“Mari kita selesaikan masalah anak-anak, semampu kita. Karena mereka layak mendapat kehidupan dan perlakuan yang baik.”
Bersambung.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White Butterflies (TAMAT)
Novela JuvenilBlurb Talita Nadine menjadi guru konseling baru di salah satu sekolah yayasan bernama SMA Tirta Bakti. Alasan Lita melamar menjadi guru di sana agar bisa terbebas dari rongrongan keluarga ayahnya yang selalu memperlakukannya tidak adil. Di sekolah i...