Bahagia tak selalu bersama
Bahagia bisa dengan mengenang satu sama lain
Selamanya*****
Lita memercayai bahwa semua usaha yang dilakukan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil. Waktu bukan masalah karena semua usaha memang butuh waktu untuk prosesnya. Hal itu akan berlaku pada semua siswanya, bukan hanya pada Anggita. Setiap usahanya dalam memberikan solusi akan memberikan hasil walaupun tidak akan seratus persen benar-benar selesai. Semua kembali ke mereka, apakah benar-benar ingin mengubah hidup lebih baik atau tidak.
Usaha itu mulai membuahkan hasil ketika Lita kembali melihat Anggita duduk tenang di sebuah sofa nyaman khusus untuk pasien yang akan menjalani terapi bersama psikolog pemilik ruangan tersebut. Sementara Lita duduk di salah satu kursi bulat dari anyaman rotan yang terlihat gaya beralas bantal tebal berwarna lembut. Ia membaca salah satu majalah psikologi seraya sesekali melirik Anggita yang malah asyik bermain game petualangan berkelompok di gawai yang diberikan oleh Sarah minggu lalu.
Sarah masuk ke ruangan itu dengan tiga gelas cokelat panas di atas nampan keramik. Wanita cantik itu meletakkan nampan di atas meja dengan suara sedikit berisik membuat dua gadis lainnya mengalihkan perhatian padanya.
“Bagaimana kabarmu hari ini, Anggita?” tanya Sarah dengan senyum lebar, terlalu lebar malah hingga deretan gigi putih terawat miliknya terlihat.
Anggita menaruh gawai ke dalam tas kemudian melipat tangannya di atas pangkuan. Sikapnya terlihat anggun. Lita tersenyum geli melihatnya. Sepertinya gadis remaja itu mengikuti gaya Sarah yang menjadi panutan barunya. Anggita mengatakan kalau ia sangat kagum dengan penampilan Sarah dan ingin menjadi wanita cantik sepertinya kelak.
“Saya merasa lebih baik hari ini,” jawab Anggita dengan intonasi rendah dan pelan.
“Bagus,” puji Sarah.
Wanita itu mengambil hasil observasi di atas meja. Ia duduk di sofa khusus untuknya tepat di depan Anggita. Hasil treatment minggu sebelumnya sangat bagus. Laporan observasi dari psikiater juga menunjukkan hasil yang lebih baik.
“Hasil treatment selama beberapa kali konsultasi cukup bagus. Apakah Anggita tidur nyenyak di malam hari?” tanya Sarah. Anggita mengangguk.
“Bagaimana dengan nafsu makanmu?”
“Sudah enak makan,” jawab Anggita. Sarah tersenyum lega.
“Sudah pulang ke rumah?” lanjut Sarah.
“Iya. Sudah seminggu.” Anggita terlihat lebih rileks menjawab pertanyaan kali ini ketimbang ketika pertama kali konsultasi.
“Bagaimana suasana rumah?” ulik Sarah masih memperhatikan raut Anggita.
“Biasa saja.”
“Saat ketemu papamu?” pancing Sarah.
Anggita terdiam sejenak sebelum menjawab. “Seperti biasa. Dia pemarah, pemabuk, dan kesepian.” Anggita meringis mengucapkan kalimat itu.
“Itu kesalahannya kalau dia kesepian. Aku rasa dia menyesal, apalagi melihat Mama sudah bahagia sekarang. Dia melampiaskan kemarahan padaku karena dia merasa bersalah pada Mama. Tapi aku sudah tidak peduli. Biarkan saja dia. Selagi dia tidak mengusikku lagi.”
Sarah dan Lita mengamati ekspresi Anggita saat menceritakan keadaan ayahnya yang selalu ia katakan setiap kali sesi konsultasi. Jika di awal konsultasi beberapa minggu lalu Anggita menceritakan tentang orang tua dan keluarganya dengan wajah tertekan, kali ini tampak lebih rileks dan biasa saja. Seolah situasi rumahnya bukan lagi hal yang mengerikan baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White Butterflies (TAMAT)
Fiksi RemajaBlurb Talita Nadine menjadi guru konseling baru di salah satu sekolah yayasan bernama SMA Tirta Bakti. Alasan Lita melamar menjadi guru di sana agar bisa terbebas dari rongrongan keluarga ayahnya yang selalu memperlakukannya tidak adil. Di sekolah i...