Chapter 9. White in Hunch

25 12 4
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak saat mampir.

*****

Hidup seperti pertarungan, pilihannya melawan, bertahan, atau mati dalam kekalahan.

Setiap orang diberi kesempatan untuk melawan, bertahan dalam situasi sulit, atau berakhir menyerah saja hingga kematian merenggut.

Sangat sulit mengandalkan bantuan orang lain karena dalam arena pertarungan hidup yang kejam ini, setiap orang akan berusaha menyelamatkan diri sendiri. Cukup pegang erat pedangmu di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Perkuat semangat, dan lawan ketakutan yang membayangi. Andalkan diri sendiri jika ingin bertahan hidup.

Prinsip itu pernah dipegang Lita saat ia berjuang sembuh dari trauma pasca perceraian juga kematian kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan. Kehilangan itu membuatnya terpukul dan terpuruk dengan mental yang kacau. Depresi.

Setelah lepas dari penyakit mental yang dideritanya, tekadnya untuk menjadi guru bimbingan konseling semakin meluap. Dengan kondisi finansial yang kacau karena harus menumpang pada sang paman, Lita harus bekerja keras menghasilkan uang sembari menyelesaikan kuliah. Bertahan hidup dengan trauma mental membuat Lita sudah kebal dengan semua kesulitan yang ia hadapi dalam keluarga paman yang tidak terlalu menyukai kehadirannya.

Kini, Lita kembali bertekad sebisa mungkin membantu dan menyelamatkan anak-anak malang itu dari masalah mereka. Mungkin ia tidak bisa melakukan lebih banyak, cukup dengan memberi mereka harapan bahwa masih ada yang peduli dengan keberadaan mereka.

Dengan gontai Lita menyusuri jalanan sebuah kompleks perumahan. Letaknya agak ke dataran tinggi dan lumayan jauh dari jalan raya. Tak ada angkutan umum yang masuk ke daerah tersebut sehingga Lita harus berjalan kaki. Sedari tadi ia celingak-celinguk mencari Bang Ojol yang mungkin melintas, namun hari ini sepertinya apes. Harapan Lita menguap bersama hembusan angin teluk yang membelah terik matahari.

Lita berhenti untuk beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon sambil mengamati aplikasi peta pada gawai yang menjadi pemandunya sampai ke tempat itu. Sepertinya tidak jauh lagi. Belok kanan seratus meter, lalu, ia bisa bertanya pada penduduk di sana.

Perlahan Lita menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya yang sesak karena kelelahan. Jantungnya masih berdebar kencang. Tatkala ia menoleh ke belakang, ke arah jalanan yang baru saja ia telusuri, mulutnya langsung berdecak kagum saat ia disuguhi pemandangan laut dari ketinggian dataran itu. Laut teluk begitu bercahaya, permukaannya yang beriak memantulkan cahaya matahari yang sedang terik-teriknya di atas kepala. Perahau nelayan yang terparkir di salah satu pelabuhan kecil, tampak hanya seperti garis hitam.

Lita menyapukan pandangannya ke seluruh kota yang berdiam di tepi teluk tersebut. Riuh suara kota. Di sisi barat daya, sebuah jembatan berwarna kuning membentang di atas muara sungai yang bersentuhan dengan tepi teluk. Penduduk kota ini menyebutnya Jembatan Kuning, sesuai penampakannya. Bahkan, suara klakson mobil yang melintas di jembatan tersebut terdengar hingga tempat Lita berdiri.

Kota yang indah dengan semua permasalahan penduduk di dalamnya, batin Lita.

Terlintas dalam benak Lita sebuah pemikiran yang membuatnya tersenyum miris. Ia mencoba menduga berapa banyak anak-anak di kota ini yang mempunyai masalah serupa Anggita. Mungkinkah ia bisa membantu mereka semua lepas dari masalah mereka?

Lita menghela napas lagi. Ia kembali berdiri untuk melanjutkan langkahnya. Hampir setengah jam berjalan dan bertanya pada orang-orang yang ditemui, akhirnya guru muda itu tiba di alamat yang dituju.

Sebuah rumah permanen bertingkat dua dan bercat warna krem kombinasi cokelat tua, sama mewahnya dengan rumah tetangga di sekitarnya. Pagar besi setinggi bahu Lita. Suasana rumah tampak sepi, ciri khas lingkungan perumahan.

Black and White Butterflies (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang