Chapter 13. White in Pray

17 10 3
                                    

*****

“[1]Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”

Lita sangat meyakini hal itu. Begitu banyak kesulitan yang dia lalui di masa lalu, pada akhirnya semua dapat dilewati, meskipun berat dan penuh air mata. Dalam setiap doa-doanya, ia tak berhenti mengharap pertolongan dan penghiburan untuk dirinya dan untuk semua orang yang mengalami kesulitan yang sama dengannya.

Setelah selesai berdoa, Lita berdiri dan keluar dari gereja. Hatinya sedikit merasa tenang dan pikirannya mulai jernih untuk memikirkan tindakan yang akan dia lakukan selanjutnya. Masih banyak keraguan dalam hatinya, namun sebisa mungkin ditepis jauh-jauh.

Sesampainya di luar gereja, Lita terkejut mendapati Victorian Arselo berdiri di antara kerumunan bapak-bapak yang juga baru saja keluar dari dalam gereja. Guru olahraga itu begitu serius mendengarkan obrolan para pria-pria itu. Lita menatapnya intens hingga Rian menyadari keberadaan Lita. Pria itu beranjak dari lingkaran percakapan dan menghampiri Lita.

“Pak Rian jemaat di sini juga?” tanya Lita kepo.

“Iya.” Jawaban pendek seperti biasa. 

“Kok saya tidak lihat Pak Rian tadi di dalam?” tukas Lita dengan alis berkerut.

“Kamu terlalu serius berdoa. Saya duduk di pojok kanan dengan mereka,” sahut Rian menunjuk kumpulan pria tadi. Lita membulatkan mulutnya.

“Rumah Bapak dimana?” Lagi-lagi Lita kepo.

“Lumayan jauh. Mungkin .... belokan ketiga arah kanan dari sini.” Lita mengikuti arah petunjuk Rian sembari manggut-manggut.

“Oke, saya duluan ya. Masih harus nyuci pakaian,” pamit Lita dengan senyum lebar. Gadis itu berlalu diiringi tatapan Rian.

Rian menghela napas perlahan, kemudian melangkah ke arah parkiran. Segera ia memacu motor bebeknya pulang.

***

Lita terengah menapak jalanan gang menuju kosannya. Ada penyesalan karena memilih menyewa kamar kos yang jauh dari jalan raya. Ia harus menempuh beberapa ratus meter hingga ke tempat pemberhentian angkutan umum jika hendak bepergian. Namun, mau bagaimana lagi? Kosan itu satu-satunya tempat yang harganya ramah dengan isi dompetnya, sekaligus dekat dengan tempat kerjanya.

Baru separuh jalan melewati warung nasi kuning langganannya, Lita melihat siluet seseorang yang ia kenal. Postur tubuh kurus dan kepala menunduk saat berjalan mengingatkan Lita akan Anggita. Didera rasa penasaran, Lita membuntuti orang tersebut. 

Ketika sosok tersebut berbalik ke belakang, tampak jelas wajah sosok tersebut.

“Anggita?” gumam Lita.

Kini, kaki Lita melangkah cepat menghampiri Anggita. Tetapi, ia berhenti beberapa saat kemudian karena netranya mendapati seorang pemuda sedang berlari kecil ke arah Anggita yang berdiri diam. Pemuda itu berambut gondrong dengan hiasan tato di lengannya.

“Ada apa?” tanya Anggita lirih namun tajam pada pemuda yang menghampirinya.

“Aku antar kamu,” kata pria itu dengan suara tegas.

“Tidak perlu,” balas Anggita datar. Ia melangkah mundur ketika pemuda itu semakin mendekat padanya.

“Aku hanya ingin berteman. Kenapa kamu menghindar,” tukas pemuda tersebut yang tidak lain adalah Alex.

“Tapi aku tidak ingin berteman dengan siapa pun,” tutup gadis remaja itu kemudian berbalik pergi. Alex hanya menatap punggung Anggita yang kian menjauh.

Black and White Butterflies (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang