Bab 48

118K 6.3K 220
                                    

Setelah kejadian kemarin, Givano jadi lebih percaya bahwa kalau abangnya memang benar-benar sudah berubah dan bisa menjaga Thania dengan baik. Senang rasanya melihat es balok sudah mencair. Dapat dipastikan bahwa Gibran pasti akan menjadi sangat posesif sama Thania. Pasti. Lihat saja nanti.

Givano tidak akan merasa khawatir lagi kalau-kalau Thania akan disakiti oleh Gibran. Bukannya apa-apa, hanya saja ia paling tidak bisa saat melihat seorang perempuan bersedih apalagi sampai disakiti oleh seorang laki-laki.

Daniel selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk menghargai wanita dan jangan sekali-kali menyakiti hati perempuan, karena jika perempuan sudah kecewa, ia tidak akan lagi jadi orang yang sama seperti apa yang kita kenal dahulu.

Di rumah, Thania sedang membuat kue. Walaupun dengan alat yang sederhana tapi itu tidak menjadi penghalangnya. Setelah selesai, dilihatnya kue bolu keju buatannya. Ia tersenyum senang dengan hasil karyanya. Dan jangan lupakan tentang Givan. Thania tidak mungkin melupakan janjinya.

Tok... Tok... Tok...

Thania berjalan dari arah dapur menuju pintu. Membuka pintu tersebut dan ternyata... Yap! Siapa lagi kalau bukan suaminya.

"Gibran."

Pria itu tersenyum lalu sedetik kemudian Gibran langsung menarik tubuh Thania.

"Gibran lepas... Kamu-"

"Ssstt... Aku kangen. Makanya aku peluk kamu buat ngilangin rasa kangen aku."

"Tapi Gibran."

Gibran melepaskan pelukannya.

"Kemarinkan kita baru aja ketemu, kok udah kangen?"

Duh Gibran jadi greget banget sama Thania. Tidak bisakah wanita itu mengerti kondisi sedikit saja? Padahal sebenarnya Gibran memang tidak bisa jauh-jauh dari Thania.

"Emangnya gak boleh kangen sama istri sendiri? Hmm?" Bukannya menjawab, Thania malah jadi salah tingkah.

"Ini kita mau disini terus? Gak diajak masuk gitu?"

"Iya, ayo kita masuk."

Thania memberi jalan untuk Gibran masuk, dan pria itu langsung saja duduk di sofa.

"Kamu bikin kue?" Tanya Gibran karena mencium aroma harum kue.

"Iya Gibran, tadi aku bikin kue dan baru aja mateng terus kamu udah ngetok pintu." Gibran mengangguk.

"Gibran aku tinggal sebentar ya." Setelah mengucapkan itu, Thania berlalu pergi ke dapur.

Tidak lama wanita itu datang dan membawa kue tersebut. Ia duduk disamping Gibran dan menaruh kuenya di meja.

"Gibran aku boleh minta tolong sama kamu. Nanti kamu bisa gak kasih kue ini ke Givan?"

Pria itu mengangkat satu alisnya, "Givan?"

"Iya."

"Terus buat aku gak ada?"

"Buat kamu? Emang kamu mau kue buatan aku?"

Gibran memutar bola matanya malas, "Jadi selama ini kamu selalu mikirin Givan daripada aku? Ya kalau gitu kamu nikah aja sama Givan."

"Bukan itu maksud aku. Tapikan waktu itu kamu selalu nolak apapun pemberian aku, jadi aku gak pernah ngasih kamu lagi." Thania sedikit ragu-ragu untuk menjawab Gibran. Takut menyinggung pria itu.

Sedangkan Gibran. Ia malah jadi merasa bersalah dengan perilakunya terhadap Thania dulu. Sebenarnya bukan Thania yang salah, ya karena memang dirinya sendirilah yang menolak Thania sehingga wanita itu enggan untuk mengusiknya.

Thania [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang