Kisah 37

3.5K 138 2
                                    

Tujuh tahun lalu..

"Jes, gue gak bisa nemenin lo. Gue udah ada janji sama Felli." tolak Sabda.

Namun Jessica tetaplah Jessica, "Bentar doang, lagian Felli gak merengek minta lo cepet-cepet nyamperin dia."

"Lagian lo ngapain sih Jes kesana? Lo udah tau kan bokap lo bahkan gak peduli sama lo."

Jessica terdiam, ia sadar ayahnya tidak menginginkan anak seperti dirinya. Ayahnya sudah memiliki keluarga baru, dan kehidupan yang sempurna. Namun ia hanya ingin menunjukkan pada ayahnya bahwa ia sudah menjadi anak yang sukses dengan gelar yang ia sandang, Jessica lulusan luar negeri dengan predikat lulusan terbaik. Ayahnya seharusnya bangga akan hal itu.

"Sab gue ajak lo kesana buat gue kenalin ke ayah." bujuknya lagi.

"Jess, gue udah pernah kenal pria brengsek kayak gitu dalam hidup gue. Dan gue gak mau nonjok bokap lo cuma karena gue inget sama pria brengsek yang kelakuannya mirip sama dia."

"Udahlah Jes, gue cabut."

Sabda pergi, menemui Felli. Meninggalkan Jessica sendiri. Harusnya Jessica tau, bahwa keputusannya mengenalkan Sabda pada Felli dulu akan menyakiti dirinya sendiri. Namun kesadarannya terlambat, Sabda sudah terlanjur jatuh pada pesona Felli sejak kali pertama mereka bertemu.

Yang bisa Jessica lakukan kini hanya mengalah pada Felli, bahwa saat ini bukan dia lagi prioritas Sabda bukan dia lagi yang Sabda butuhkan.

Bahkan di kesempatan lain, Sabda juga tak lagi peduli padanya.

"Sab, ini undangan Award gue. Lo dateng yaa, kita barengan aja."

"Gue gak bisa Jess. Nanti malem gue mau nemenin Felli pemotretan."

"Bentar doang gak bisa?" tanyanya lirih.

Sabda menggeleng, "Sorry Jess."

Jessica mengehela nafas lelah. Tidak kah Sabda memiliki perhatian lagi pada dirinya, apakah statusnya sudah tergantikan total oleh Felli. Jadi Sabda sudah tak butuh dirinya. Haruskah ia menyingkirkan Felli? Mungkin.

"Jadi Jess, lo mau ngomongin apa? Eh btw, selamat ya Jess, lo terpilih sebagai artis pendatang baru terfavorit. Gue gak nyangka banget lho, lo muncul sebagai juaranya." siang itu Felli berkata riang, namun jauh dalam lubuk hati Jessica ia benci semua kalimat itu. Semua kalimat yang keluar dari bibir Felli seolah-olah menertawakannya, mengatakan padanya bahwa Jessica sudah kalah.

"Gue kan ada pemotretan di Paris, minggu depan. Nah gue juga masih ada schedule sih disini, gue mau lo yang gantiin schedule gue yang disini. Gimana? Lo mau kan?"

"Lo beneran ngasih gue Jess? Gila aja gue nolak, setiap kerjaan yang lo ambil kan pasti bagus Jess." kata Felli dengan mata berbinar, seolah semua yang akan terjadi nanti tidak akan berdampak buruk terhadap hidupnya.

"Lo ngajak Sabda ke semua jadwal pemotretan lo?"

"Ya enggaklah Jess, minggu-minggu ini Kak Sabda sibuk banget. Jadi gue gak enak mau ajak dia."

Dalam hatinya Jessica tersenyum senang. Semua rencananya berjalan lancar. Seminggu setelah pertemuan itu Jessica terbang ke Paris, dengan semua rencana yang sudah ia susun matang malam itu menjadi malam paling menjijikkan untuk Felli, petaka yang menimpa dirinya hingga ia menjadi seperti sekarang. Ia benci dirinya sendiri, bahkan ia lebih benci jika ia tahu bahwa pelakunya adalah ayah dari kekasihnya sendiri.

Sebulan setelah kejadian itu, Felli dimasukkan kerumah sakit jiwa atas saran Jessica. Sabda stress berat, ia seolah kehilangan seluruh tumpuan hidupnya. Jessica datang sebagai penolong, seolah semua bukan dia pelakunya. Padahal dialah dalangnya.

Sampai hingga sosok baru datang dalam hidup Sabda kembali merenggut sosok Sabda dalam hidupnya, bahkan dengan cepat mengambil hati Sabda. Ia patah, sekali lagi hatinya hancur dunianya runtuh ketika ia mendapatkan undangan pernikahan Sabda dengan seorang wanita bernama Fara. Hingga semua kekacauan ini muncul.

"Gue gak akan biarin ini semua terjadi! Sabda gak akan pernah bahagia dengan siapapun kecuali gue!" ujarnya dengan nada suara yang dingin.

"Bahkan kalau suatu saat nanti Sabda masih bersikeras mempertahankan Fara, gue yang akan menghancurkan Fara dengan tangan gue sendiri."

Bahkan hingga peluru itu bersarang dikepala Sabda, Jessica merasa bersalah akan hal itu. Bukan hal ini yang dia inginkan, bukan kehilangan Sabda. Ia menangis histeris di rooftop gedung, melihat kebawah semua terasa kecil. Angin menerpa wajahnya, ia tau ini adalah kegilaan kesekian yang ia lakukan. Namun apa gunaya ia hidup jika Sabda tak ada dalam hidupnya. Ketika Jessica sudah bersiap untuk melompat, Kahfi dan beberapa polisi datang menyergapnya. Tak ada perlawanan berarti, ia pasrah. Bahkan tanpa emosi apapun, ia gila. Ia pikir ia sudah gila.

"Jangan berharap lo bahagia setelah ini Jess, lo pantas dapatin ini semua!"

Jessica tak bergeming, ia tak peduli bahakn jika nanti ia mati ia juga tak peduli. Dia sudah kehilangan semuanya, tak ada gunanya lagi dia hidup.

🌼🌼🌼

"Mas, adek kangen kamu lho. Beberapa hari ini gak mau makan, mual terus. Kamu gak mau paksa aku buat makan?" tanya Fara menggenggam erat tangan Sabda, menyampaikan kehangan pada tangan dingin pria yang sedang terpejam itu.

"Temen kamu mau nikah juga, yakin kamu gak mau liat?" ujarnya dengan air mata yang menggenang.

Fara menghela nafas lelah, benar jika hari itu ia berniat berpisah dari Sabda tapi kali ini, dia hanya ingin Sabda bangun. Tanpa kekurangan apapun, anak-anaknya harus melihat ayah mereka saat mereka lahir nanti.


🌼🌼🌼

Aku ngetik pendek banget, aku cuma mau jelasin tentang Jessica. Gak beberapa part lagi tamat nii. Mau sampe in apa sama mereka:

1. Fara

2. Sabda

3. Melati

4. Kahfi

Unknown Location [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang