Keadaan rumah sangat sepi, Sabda sengaja pulang lebih cepat dari biasanya untuk melihat keadaan Fara. Pasalnya, wanita itu mengeluhkan bahwa perutnya sakit tadi pagi. Hingga ia tak mengizinkan Fara berangkat kerja, dan membombardir ponsel wanita itu dengan puluhan telpon dan chat yang dinilai Fara terlalu berlebihan.
Sabda membuka pintu kamar perlahan, ia melihat Fara tertidur dengan posisi yang sangat tak nyaman. Bagaimana tidak, wanita itu tidur dengan posisi bersimpuh. Namun kepalanya di bantal. Sabda membenarkan posisi tidur Fara, ia sangat berhati-hati. Takut-takut jika wanita itu akan terbangun karena ulahnya. Hati Sabda tercubit melihat ada bekas air mata yang mengering di sudut mata istrinya. Sesakit apa kiranya datang bulan itu?
Sabda membaringkan badannya di samping kanan menghadap ke arah Fara, melihat wajah wanita itu dari dekat. Lalu merapikan beberapa anak rambutnya yang masuk ke dalam mulut. Ia memperhatikan wajah wanita yang tiga bulan ini memenuhi hari-harinya, mata Fara mengerjap diikuti dengan pergerakan tubuhnya. Perlahan-lahan mulai membuka mata.
"Mas? kamu udah pulang? Aku belum—" Fara mencoba bangkit dari tidurnya, lalu sedetik kemudian ia mengaduh karena keram di perutnya belum juga hilang.
"Tidur aja Ay." Sabda menarik tangan Fara untuk kembali merebahkan diri di kasur.
"Tapi aku belum beres-beres. Sekarang jam berapa?"
Sabda melihat jam di tangannya, "Jam 2."
"Kamu kok cepet pulangnya?"
"Aku kepikiran istriku yang lagi sakit dirumah."
Hati Fara menghangat mendengarnya, entah kenapa ia senang. Senang bahwa kata-kata itu keluar sendiri dari mulut Sabda.
"Sakit banget ya?" tanya Sabda ketika melihat Fara meringis.
"Sekarang udah gak sesakit tadi sih."
"Mau kedokter aja?"
Fara menggeleng lemah. "Nanti juga hilang sendiri."
"Aku ganti baju dulu, masalah kerjaan rumah biar aku yang beresin. Kamu istirahat aja. Percaya sama aku." ujar Sabda menepuk dadanya.
"Makasih ya, Mas."
Sebelum masuk kamar mandi Sabda tersenyum, "Anytime Ay."
🍁🍁
Menjelang pukul sembilan perut Fara sudah terasa tak lagi sakit hingga ia memutuskan membersihkan dirinya. Namun ketika hendak tidur kembali, punggunya justru terasa amat ngilu dan sakit.
Sabda tahu istrinya belum tidur, karena sedari tadi Fara tak berhenti bergerak. Mencari posisi ternyaman.
"Kenapa Ay?" tanya Sabda saat Fara menghadapnya.
"Punggung aku pegel banget." rengek Fara.
"Yaudah kalau gitu hadep sana biar aku pijitin."
Fara menurut, namun tiga detik setelahnya.
"Jangan di pegang."
Sabda tak mengindahkan, ia kira Fara mengigau.
"Jangan di pegang, Mas!" bentak Fara.
Tangan Sabda yang sedang mengelus punggung Fara pun terhenti.
"Kalau gak di pegang gimana ngurutnya?" tanya Sabda gusar, saat mendengar isakan istrinya.
Sabda menyelipkan tangannya di perut Fara, harap-harap cemas wanita itu tak memberontak lalu menyikutnya. Sedetik, dua detik tak ada penolakan apapun dari Fara.
"It's okay, apapun moodnya aku akan disini." bisik Sabda di telinga Fara.
Fara membalikkan tubuhnya, menghadap dada bidang Sabda. Membenamkan kepalanya disana, untuk saat ini pelukan Sabda terasa jauh lebih nyaman di banding apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown Location [Completed]
RomanceBagi Fara menikah berarti belajar, belajar mencintai ia yang tak pernah di cinta, belajar menjadi yang terbaik, belajar bahwa semua tak lagi bisa ia lakukan sendiri. Bagi Sabda menikah berarti berlari, berlari meninggalkan masalalu, berlari dari sem...