Aku kira cinta kita sebatas cinta masa puber remaja. Tapi ketika kita dewasa, aku rasa cinta memang ada dan nyata
-Aksara Waktu-
Anneth menempelkan ID Card ke scanner, tak lama pintu kamar hotel terbuka. Anneth melangkah masuk, melepas sepatu dan meletakkannya asal dan berlalu merebahkan diri ke atas kasur empuk kamarnya. Hari yang cukup melelahkan, pikirnya.
Ia masih tak menyangka akan bertemu pria itu disini. Betrand tumbuh menjadi pria tampan dan berkarisma. Rahangnya yang nampak lebih kokoh, kulit sawo matang yang terlihat lebih bersih, rambut hitam legam yang tertata rapi, badan yang lebih tinggi dari terakhir mereka bertemu di Melodi Cafe 4 tahun yang lalu.
Dari sekian banyak perubahan yang terjadi pada pria itu, satu hal yang begitu menyita perhatian Anneth. Sikapnya. Sikapnya lebih dingin, irit bicara, dan pandangan mata yang tak sehangat dulu. Mungkin sikap dingin seperti ini hanya ditunjukkan pada dirinya, karena melihat kala Betrand bersama Mahesa ataupun Retana, sikapnya tak lagi dingin walau tetap dengan mata tajamnya.
Dia berbeda, hanya kepadanya. Betrand yang mengacak pelan puncak kepala Retana, Betrand yang mendengarkan cerita Retana dengan begitu antusias, tawa yang keluar dari mulutnya hanya karena minuman Redbull original milik Retana menetes ke piring gadis itu, bahkan Betrand yang tidak menyelesaikan makannya hanya karena Retana yang ingin berfoto di balkon restoran. Semua kejadian sore ini seperti menegaskan bahwa dirinya dan Betrand sudah benar-benar berakhir 4 tahun lalu.
Apalagi ditegaskan dengan kalung salib yang ia berikan sudah tak terpasang di leher Betrand. Sungguh rasanya begitu menyakitkan.
"Kamu yang menyuruh aku mencari kebahagiaanku, namun kamu yang lebih dulu bahagia. Sedangkan aku? Masih hidup dalam cangkang yang hanya berisi dirimu. Juga kenanganmu."
Anneth bangun, memutuskan untuk membersihkan tubuh yang terasa lengket. Juga membersihkan segala pikiran buruk dalam kepalanya. Berharap, bahwa semua akan baik-baik saja.
Ya, semoga.
°°°°°
Betrand berdiri di pingir pembatas daratan dengan sungai, menikmati malam indah di Clarke Quay. Memandang perahu-perahu yang membawa para turis menikmati indahnya Boat Quay. Berdiri ditengah ramainya orang yang tengah bercengkrama dengan keluarga, sahabat atau bahkan pasangan tetap membuat hati pria itu hampa. Kosong tanpa isi.
"Permainan takdir apa lagi ini Tuhan."
Matanya menerawang lurus ke depan, melihat jajaran bangunan dengan lampu warna-warni menerangi dengan begitu indah. Namun, tetap saja dengan semua warna itu, hidupnya tetap monokrom. Tetap hitam dan sunyi, sama dengan 4 tahun lalu. Tepat ketika dia keluar dari Cafe di daerah Jakarta Barat, tepat ketika dia memblokir nomor gadis itu, dan tepat ketika dia terbang di atas langit Jakarta 4 tahun lalu.
Dia ikhlas? Apa iya ikhlas semudah itu? Bahkan Betrand tidak percaya dengan adanya ikhlas, yang dia tau adalah pura-pura melupa, pura-pura baik-baik saja, juga pura-pura bahagia.
Nyatanya, hatinya masih tertinggal di kota besar itu, berkelana mengikuti sang pemilik. Anneth.
"Woy!"
Sebuah tepukan di pundak membawa Betrand kembali ke realita dunia. "Ngagetin lo," gerutunya kesal. Sedangkan dua pria itu tertawa renyah.
"Ngapain lo Alf? Ngegalau disini aja," tanya pria berambut ikal. Mereka berdiri disamping kanan kiri Betrand. Betrand hanya menghembuskan napas, "Gue gak galau. Ngapain lo pada nyusul kesini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Waktu (selesai)
Teen Fiction"Tidak usah banyak bicara, karena waktu yang akan menunjukkan bahwa kamu milikku dan aku milikmu" Takdir tak pernah banyak berbicara untuk memulai keajaibannya. Tidak juga berteriak hanya untuk mengakui bahwa dirinya hebat. Takdir itu seperti angin...