Tidak ada yang lebih tersakiti. Hanya ada yang lebih pandai menyembunyikan luka hati
-Aksara Waktu-
Sore indah disebuah rumah mewah, sore dengan warna jingga yang membuat siapapun yang melihat akan berdecak kagum. Udara sehabis hujan yang menusuk kedalam kulit tidak membuat Betrand beranjak dari tempat.
Duduk menghadap kolam besar di sebuah kursi besi hitam. Ditemani teh yang hangatnya sedikit demi sedikit di hisap oleh udara selepas hujan. Betrand menatap lekat ponsel yang ia genggam. Tangannya bergerak diatas layar licin itu.
Membaca satu persatu rentetan kalimat yang nampak dengan cermat tanpa tertinggal satu kata pun. Hatinya mencelos membaca salah satu kalimat disana.
"Orang yang menjual kesedihan gak pantas bersanding sama yang menjual kualitas"
Benarkah?
Benarkah semua lagu dan karya yang ia buat tak kasat mata? Apakah albumnya itu dibabat habis oleh angin? Apa benar selama ini dirinya hanya dikasihani bukan dikagumi?
Pertanyaan itu muncul seketika, membuat Betrand terpaku ditempatnya. Memandang pohon kelapa yang menjulang tinggi diseberang kolam. Pikirannya berkecamuk.
"Benarkah aku gak pantes untuk dia?"
Lamunannya buyar kala suara decitan kursi besi masuk ke indra pendengarannya. Ruben duduk, menatap putra pertamanya.
"Belum siap-siap?" tanyanya. Betrand menggeleng tanpa tenaga membuat Ruben mengernyit bingung.
"Ada masalah?" tanya Ruben memastikan.
Betrand menghembuskan napas lelah, "Yah, selama ini Onyo cuma menjual kisah hidup ya? Onyo dikenal bukan karena karya dan lagu tapi karena kisah masa lalu Onyo?"
Ruben tersentak, terkejut dengan ucapan Betrand. Pasalnya tidak pernah putranya menyinggung tentang masalah masa lalunya lagi.
"Siapa yang bilang gitu? Bilang sama Ayah. Onyo itu udah banyak berkarya dan banyak yang menikmati lagu Onyo bukan hanya jual kisah sedih aja. Up and down itu selalu ada, itu bagian dari yang namanya proses."
Mendengar nasehat ayahnya membuat Betrand menunduk lesu. Dirinya bangkit, "Onyo siap-siap dulu," pamitnya lalu berbalik masuk ke dalam rumah meninggalkan Ruben yang masih duduk termenung diatas kursi besi itu. Menatap punggung tegak anaknya.
"Maaf."
°°°°°
Anneth duduk termenung diteras rumahnya dengan kursi yang biasa di duduki lelaki itu kala berkunjung. Mengingat lelaki itu membuat kalimat yang ia baca tadi siang kembali muncul di pikirannya.
"Cewek begituan gak pantes buat orang se sweet Onyo, karir juga dari dulu melempem aja sok."
Satu kalimat yang ia ingat dari puluhan kalimat serupa lain. Anneth memandang lekat air yang menetes dari atap rumahnya.
"Apa bisa gue sekuat atap? Bahkan setelah ditimpa ribuan butir air hujan dia tetap bisa kokoh melindungi manusia yang berlindung dibawahnya. Apa bisa gue sekuat itu?"
Anneth menunduk, menatap lantai dengan keramik putih dibawahnya.
"Bolehkan kali ini gue rapuh? Bolehkan kali ini gue berhenti untuk pura-pura baik-baik aja? Bolehkan gue-" Kalimat nya tercekat, lidahnya terasa kelu dibuat. Matanya memanas mencoba menahan cairan bening yang memberontak ingin keluar.
"Apa gue seburuk itu?"
Tepat setelah kalimat itu keluar, pertahanannya runtuh. Kini dibiarkannya air mata itu keluar seenak hati. Jatuh ke keramik bercampur dengan sisa-sisa air hujan. Isakan demi isakan tak dapat ia tahan lagi. Bahunya sedikit bergetar menandakan seberapa rapuhnya gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Waktu (selesai)
Dla nastolatków"Tidak usah banyak bicara, karena waktu yang akan menunjukkan bahwa kamu milikku dan aku milikmu" Takdir tak pernah banyak berbicara untuk memulai keajaibannya. Tidak juga berteriak hanya untuk mengakui bahwa dirinya hebat. Takdir itu seperti angin...