❃.✮:▹G A T A◃:✮.❃
Cakra mengepalkan tangan, sedangkan rahang wajah Alvarendra sudah mengeras. Mereka sama-sama mengalihkan pandang pada punggung penuh luka Gata.
"Kenapa bisa sampe gini, sih, Ga? Gue aja yang cuma liat, ngerasa sakit banget."
Dengan gerakan lembut, Alvarendra mulai mengusapkan kapas yang sudah ia beri alkohol sebelumnya pada punggung Gata.
"Hehe, biasalah. Nilai ulangan gue diliat Papa. Sumpah, mata Papa jeli banget. Padahal kertas itu gue umpetin di balik buku."
"Ulangan Fisika kemarin itu?"
"Iya, Al. Shh ... pelan-pelan dong anjir! Sakit!" Gata tiba-tiba memekik. Ia goyangkan punggungnya beberapa kali untuk menjauh dari sentuhan Alvarendra.
"Ini udah pelan, Ga."
Alvarendra ingin marah. Tapi tak bisa. Ingin memaki Bayanaka, tapi tidak mungkin. Jadi, ia lampiaskan itu semua dengan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Saat ini, mereka berada di UKS di jam istirahat kedua. Untungnya lagi, Cakra juga sedang tidak ada jadwal latihan seperti biasa. Hingga cowok itu bisa menemani Alvarendra yang sedang mengobati luka Gata.
Kalau Alvarendra marah, Cakra tak lebih marah. Ini sudah keterlaluan. Sudah merupakan kekerasan pada anak di bahwa umur.
Walau Bayanaka itu papanya Gata, beliau tidak pantas memperlakukan Gata seperti ini. Gata itu manusia, tidak sepantasnya mendapat luka dengan kejam seperti ini. Hewan saja akan merasa sakit, apalagi Gata?
"Cak, kenapa diem aja?" Gata sedikit melirik ke arah Cakra yang memang sejak tadi bungkam.
Tak perlu bertanya pun, Gata tahu apa yang membuat Cakra demikian. Cowok itu marah, sedang marah, tapi tidak bisa melampiaskan amarahnya.
Diam adalah pilihan terbaik yang selalu Cakra lakukan saat sedang marah.
Bukan Gata sekali. Kalau Gata, akan langsung mengomel panjang lebar.
Atau Alvarendra? Cowok itu lebih suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
Cakra adalah yang paling dewasa di antara mereka.
"Gue lagi marah. Makanya diem. Lo nggak usah tanya-tanya gue. Nanti malah gue kelepasan ke lo." jawab Cakra tanpa menatap Gata sama sekali.
Kekehan Gata mengudara. Sangat lirih, sampai membuat hati Cakra dan Alvarendra teriris kala mendengarnya.
"Jangan marah. Gue minta maaf. Tapi ini juga salah gue yang nggak mau belajar. Orang tua cuma pengen yang terbaik buat anak-anaknya. Jangan salahin Papa, karena beliau punya alasan kenapa harus ngelakuin ini ke gue."
Gata tidak pernah membenci orang tuanya. Gata tidak pernah menyalahkan takdir. Gata tidak pernah menyalahkan siapa-siapa.
Karena ini sudah jalan takdir. Sekali pun ia marah pada dunia, semua tidak akan kembali seperti semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| GATA
Fiksi RemajaGata tuturkan semuanya malam itu, di awal bulan Desember kala angin sedang bertiup kencang. "Butuh berapa banyak uang yang bisa aku kasih untuk beli waktu kalian?" @aksara_salara #150821