👑
Hujan itu bukan hal yang gue suka. Bukan artinya gue benci, karena menurut Papa hujan itu adalah rejeki. Tapi hujan itu basah, dan gue benci basah. Apalagi becek-becekan, udah deh. Mana ujan, gak ada ojek. Becek-becek.
Seperti sore ini, tiba-tiba aja hujan besar mengguyur satu wilayah Jakarta. Sialnya, gue lupa bawa payung. Gue mau minta jemput Mama, tapi dari tadi hapenya gak aktif. Minta tolong bang Daniel, gue malah kena omelannya karena teledor gak bawa payung. Terpaksa gue masih harus terduduk di lobi sekolah. Sambil mencoba mencari taksi online yang entah kenapa di saat-saat seperti ini malah sulit didapatkan.
Sebetulnya, ada satu nama yang bisa gue mintain tolong. Satu nama yang mungkin dengan senang hati menolong gue. Bahkan saking kelewat seneng, gue minta anter ke Antartika pun mau. Tapi gue gak bisa. Bukan gak bisa sih, guenya gak mau.
Mahesa. Si bocah tengil yang baru aja maaf-maafan sama gue kemarin. Si bocah tengil yang dengan senang hati mengangkat panggilan gue, bahkan pada dering pertama. Tapi Mahesa juga bukan orang yang pengen gue mintain tolong sekarang.
Karena, gue gengsi.
Cukup dua kata, dan gue rela buat nunggu langit berhenti turunin hujannya. Meskipun tak ada tanda-tanda sama sekali, kalau hujan bakal reda dalam waktu dekat. Tapi gue tetap pada pendirian. Menunggu mantan!
Eh, hujan!
Gue menghela napas panjang, bersamaan dengan langkah kaki seseorang yang terdengar setengah berlari sedang membelah hujan. Gue menoleh ke arah suara, sedikit penasaran dengan siapa manusia yang mau-maunya olahraga pas lagi hujan deras gini.
Gue terkejut bukan main, saat melihat makhluk kasat mata yang sangat tak asing dimata gue. Gue refleks bangkit dari kursi, dengan mata dan mulut yang sama-sama membuka lebar.
Gue melongo melihat Mahesa yang kini sudah berdiri dihadapan gue, dengan seragam yang bener-bener basah kuyup. Gue jadi berpikir, apa Mahesa bakal datang langsung saat itu juga, saat gue pikirin dia? Udah mirip goblin aja sih.
"Ngapain lo?"
"Main air." Gue mengernyitkan kening, "Ya jemput lo lah, Kak."
"Disuruh mama?"
"Nggak."
"Papa?"
Mahesa menghela napas. "Nggak juga," jawabnya gemas, "Ayo pulang, Kak."
Gue berpikir dua kali sebelum menerima ajakan Mahesa, cukup sekali aku merasakan kegagalan cinta. Eh, astaga! Maksudnya cukup sekali gue waktu itu kena tipu daya muslihat Mahesa si buaya buntung ini. Sekarang, jangan lagi!
"Gak!" Tolak gue ketus.
Mahesa menautkan alisnya, "Kenapa, sih?"
"Gak mau aja."
Jelas gue gak mau lah, gue udah punya firasat buruk soal ini. Bisa-bisa gue bukan di bawa pulang ke rumah, tapi malah di bawa ke KUA lagi.
Hah.. maunya!
"Ayo kak, pulang. Ini udah sore banget, mau maghrib."
Gue melirik arloji yang ada ditangan gue sekilas. Jam setengah enam sore, dan gue masih di lobi sekolah, nunggu hujan. Great! Cari mati banget gue.
Gue berdeham, "tapi gue gak mau basah, dan lo gak pake payung tadi."
Mahesa melongo mendengar ucapan gue, lalu detik berikutnya tertawa puas. Gue sendiri bingung, emang ada yang lucu ya dari ucapan gue?
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Menjadi Jomblo
HumorBagaimana jadinya, jika seorang cassanova yang sudah terkenal akan gelar tak pernah jomblonya, tiba-tiba harus turun tahta menjadi seorang jomblo dan dikucilkan banyak orang? Dan, Alana mengalami itu. Diputuskan pacarnya pas lagi sayang-sayangnya...