- Day 2 (b) -

510 47 5
                                    

Benar ku mencintaimu,
tapi tak begini..

Kau khianati hati ini,
kau curangi aku..

------


Selama enam belas tahun gue hidup, gak pernah sedetik pun gue ngebayangin bakal ngerasain yang namaya dikhianatin.

Gak akan gue permasalahin, kalau gue dikhianatin orang yang belum gue kenal bahkan sayang sepenuhnya. Tapi Rama? Dia pacar gue. Dan gue sayang banget sama dia, gue bahkan udah rela kalau pun nanti selulusnya gue SMA, terus Rama ngelamar gue buat ngajak nikah, gue pasti terima.

Tapi faktanya sekarang, Rama udah nusuk gue dari dua bulan yang lalu?

Damn it!

Gue bergulat dengan pikiran gue sendiri, sementara Rama berhasil menggiring gue masuk ke studio musik sekolah yang kebetulan sepi. Kenapa juga harus sepi. Padahal biasanya, studio ini selalu penuh sama murid-murid gabut yang kabur dari kelas.

"Lan, lo gila apa?!" tegur Rama, sambil melepas cengkraman tangannya. Badannya yang tinggi, berdiri tepat di depan gue menghalangi cahaya lampu yang berpendar.

Mata gue yang memerah menahan tangis, menatap tak mengerti apa yang sedang dilakukan Rama.

"Lo kok berani-beraninya nantang balik Puspa? Lo gak inget, dia itu orang yang berkuasa di sekolah?" Rama mengusap wajahnya frustasi. "Kalo sampe lo diapa-apain sama dia, gimana? Lo gak takut disakitin apa, hah?!"

Plak!

Satu tamparan telak, mengenai pipi Rama. Dan tamparan itu, berasal dari telapak tangan gue.

Gue sendiri gak tahu apa yang gue lakuin, tapi itu spontanitas. Dada gue kembang kempis, bahkan napas gue pun terdengar seperti orang yang kurang oksigen. Tanpa gue sadari juga, air mata mulai merembes membasahi kedua pipi gue.

Rasa marah, kecewa, sedih, semuanya berkumpul di diri gue. Dan tadi, gue pikir itu satu-satunya jalan buat gue lampiasin rasa itu semua.

"Lo bilang gue gak takut disakitin Puspa?" gue menatap tajam Rama, meski mata gue merah pedih. "Lo khianatin gue, apa itu gak bikin gue sakit?"

Rama menundukkan kepalanya, lalu menatap gue dengan tatapan penuh rasa bersalah. Tangannya mencoba meraih tangan gue, namun berhasil gue tepis cepat.

"Gue gak maksud—"

"Stop! Gue gak mau denger kata apapun keluar dari mulut lo!"

Rama serba salah. Udah mirip Raisa.

Gue bisa lihat dia pengen banget jelasin semuanya ke gue, tapi rasanya hati gue belum siap untuk itu.

Emang bener kata orang, dalam keadaan marah, orang yang kita sayang sekalipun bisa jadi orang yang paling kita benci.

"Oke, oke. Gue bakal pergi," ucap Rama sambil memberi gestur tangan, menyuruh gue berhenti bersikap kayak sekarang.

"Tapi sebelum gue pergi, gue mau bilang satu hal. Kalo gue, punya alesan berbuat kayak gini sama lo." Gue membuang muka, berharap Rama cepat pergi sekarang juga.

"Gue akan selalu sayang sama lo."

Pintu ditutup, setelah bayangan Rama hilang di baliknya. Dan gue, masih diam terpaku di tempat yang sama. Otak gue terus memutar kata-kata yang baru Rama ucapkan beberapa detik yang lalu, membuat gue tak berkutik dan bingung harus apa.

Sulit buat gue mengartikan keadaan sekarang ini, karena jujur aja, gue berasa lagi ekting buat serial FTV. Kenapa tiba-tiba kisah cinta SMA gue semenyedihkan ini?

Satu tepukan dari belakang, gue rasakan di pundak gue. Membuat gue refleks berbalik, dan bernapas lega saat tahu siapa pelakunya.

Tanpa berpikir panjang, gue memeluk Pea.

Entah kenapa, rasanya gue pengen sembunyi dari dunia di balik dada Pea. Nyaman. Cukup satu kata itu, yang menggambarkan perasaan gue saat ini.

"Sorry tadi gue nguping pembicaraan lo sama Rama," ucapnya sembari mengelus-ngelus pelan punggung gue. "Gue ngumpet di balik kursi, saat lo sama Rama masuk."

Gue mengangguk, tanpa bicara.

Bersamaan dengan itu, bel pergantian jam berbunyi. Gue melepas pelukan gue dari Pea, tersenyum sambil menatap bola mata hitam Pea. "Makasih."

Gue berbalik hendak keluar, untuk masuk kelas berikutnya. Namun tertahan, saat Pea menahan pundak gue.

"Gue rasa, lo gak bisa masuk kelas dengan keadaan lo yang sekarang."

Ah, ya. Pasti penampilan gue berantakan banget. Mata sembab, hidung merah plus ingus, dan baju yang masih bau karena keringat gue selama olahraga.

Gue tersenyum lemas ke arah Pea, "Yaudah kalo gitu, lo ke kelas gih."

Pea menggeleng, "Gila aja gue diemin sahabat gue bolos sendirian." Gue tertawa.

Pea menarik lengan gue ikut dengannya, menuju ke sofa hitam di dekat alat musik drum. Gue dan Pea pun berhasil duduk bersebelahan, sambil bersandar.

"Gue ada penawaran," ucap Pea membuat gue menoleh ke arahnya, menatapnya dari samping.

"Apa?"

"Buat saat ini, lo boleh tidur di pundak gue."

Gue melongo, tapi di detik berikutnya tawa gue pecah memenuhi seisi ruangan.

"Apaan sih lo, emang sekarang ini gue kenapa? Ga kenapa-kenapa lag—" ucapan gue menggantung, saat Pea dengan secepat kilat mengubah posisi kepala gue menjadi bersandar di pundaknya.

Ada sepersekian detik, jantung gue tiba-tiba berdetak lebih cepet dari biasanya.

Pea memejamkan matanya, sambil menyandarkan kepalanya juga di atas kepala gue. "Udah, lo tidur aja. Gue jamin pundak gue lebih nyaman dari bantal di UKS."

Gue tersenyum penuh, dengan perasaan yang sedikit terobati. Bersyukur banget gue punya sahabat kayak Pea. Ya meskipun kadang dia nyebelin, tapi untuk saat-saat tertentu kadang dia lebih ngertiin gue dari pacar gue sendiri. 

***

Tbc

Hola! balik lagi sama si penulis labil. huahaha

maapin daku ya, udah sebulan ini ga update. sibuk banyak urusan. wkwkwk 

btw, selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. semoga cacap sampe hari raya nanti ya! love love, mwah!

Jan lupa vote dan komennya ya!💓

30 Hari Menjadi JombloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang