1. Mengendap-endap

91 19 11
                                    

Tangan terlipat di dada. Kaki pun terus mengentak-entak kuat ke tanah. Kesabaran Jihoon kian terkikis dan kemurahan hatinya sudah habis karena menunggu orang yang tidak kunjung datang itu.

Pukul berapa sekarang? Apa dia tidak tahu waktu? Jihoon mengomel dalam hati.

Bahkan, minimarket yang jadi tempat menunggunya tadi, telah tutup. Dia tidak mungkin berada di sana lebih lama karena penjaganya sudah kalang kabut ingin pulang.

Terlebih ... Jihoon tidak mau keberadaannya akan membawa masalah bagi wanita kasir itu. Meskipun tidak ada hubungan apa pun, tetapi orang-orang yang ada di sekitarnya akan berakhir sama. Berada dalam bahaya. Jihoon pun sangat sadar jika dirinya selalu jadi ancaman untuk orang lain.

Hanya orang-orang yang pernah bersama dengannya cukup lama saja, yang bisa dia mintai tolong. Salah satu orang tersebut, ya sosok yang sedang ditunggunya ini. Sayangnya, orang itu belum muncul juga.

Dia benar-benar tidak berubah. Jihoon melampiaskan kekesalannya dengan menendang angin yang tidak terlihat.

Malam makin gelap. Udara juga makin dingin. Jihoon tidak tahu, harus menunggu di mana lagi? Dia tidak familier dengan lokasi kaburnya ini dan tidak ada seorang pun di sana. Hanya ada wanita penjaga minimarket yang baru keluar.

Karena tidak ada kegiatan, Jihoon jadi menonton wanita itu mengunci pintu. Mengawasi dari kejauhan hingga orangnya pergi. 

Walau tidak memiliki jam, Jihoon tahu jika malam sudah larut. Waktu yang terlalu berbahaya untuk seorang wanita berkeliaran. Tanpa pertimbangan panjang, kakinya pun bergerak sendiri mengikuti wanita itu. Berniat mengawal penjaga minimarket itu dari jarak aman.

Dia memang bukan tipe orang yang memiliki empati tinggi. Jihoon sendiri merasa canggung harus mengikuti seorang perempuan seperti ini. Belum lagi dengan gaya pakaiannya yang tampak mencurigakan. Namun, Jihoon merasa wanita itu pulang larut sebab dirinya yang terlalu lama menunggu di sana. Jadi, daripada terjadi apa-apa dengan wanita itu di jalan, lebih baik Jihoon mengawalnya diam-diam.

Dan ... untuk menghilangkan kecanggungan, Jihoon banyak mengomentari wanita itu. Semua dia komentari, termasuk riasan yang membuatnya tampak tua sampai wanita itu tiba-tiba berhenti di perempatan dekat lampu jalan yang menyala.

Dia pun ikut berhenti. Tidak menaruh curiga, Jihoon masih santai memasukkan tangannya ke dalam saku jaket untuk dihangatkan. Bersama dengan itu, ponselnya berdering. 

Matanya teralih sejenak untuk mengeluarkan ponsel tersebut. Namun, saat kepala Jihoon kembali diangkat, wanita yang diikutinya itu menghilang dari cahaya lampu jalan yang menyorot. Seakan-akan lenyap dalam sekali kedip.

Jihoon mengerjap beberapa kali. Dia menggosok mata dan memastikan penglihatannya sekali lagi. Seketika tubuh merinding.

Apa yang sejak tadi kuikuti? batinnya.

Jihoon tidak mau terbawa perasaan paraniod. Dia pun memutar tubuh untuk kembali ke tempat menunggunya tadi. Namun, baru setengah berbalik, ada tubuh besar dan tinggi yang menghadangnya. Jihoon sontak tersentak dan mengumpat. Wajahnya yang putih, berubah jadi pucat pasi efek terkejut.

Akan tetapi, setelah mengetahui identitas pria tersebut, Jihoon tidak segan-segan langsung menendang bokong orang yang tidak lain dan tidak bukan adalah temannya sendiri. Orang yang dia tunggu sejak tadi. Orang yang dia mintai tolong untuk menampung dirinya yang kabur dua kali dari keluarganya. Sahabat yang sudah mengenal dirinya luar dan dalam. Dia adalah Kwon Soonyoung.

"Kenapa kau menendangku?" tanya Soonyoung tanpa nada marah karena Jihoon juga tidak menendangnya kuat.

"Kau mengejutkanku!" ujar Jihoon, kesal.

Hear MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang