Hari masih pagi. Kelas pun belum dimulai. Namun, Eunsu sudah membuat kekacauan di mejanya sendiri sampai beberapa pasang mata memperhatikan gadis itu. Sayangnya, dia tidak sadar jika sudah membuat kebisingan karena gadis itu sendiri sedang dilanda perasaan panik.
Handphone-ku di mana? Eunsu mengacak-acak isi tas dan laci mejanya. Semua barang yang dia bawa dan disimpan dalam laci tersebut, berpindah tempat ke atas mejanya. Bahkan, tak jarang beberapa barang itu terjatuh ke lantai karena meja yang sudah tidak muat. Alhasil, Eunsu pun mendapat teguran dari orang-orang yang hendak menggunakan jalan tersebut untuk menduduki kursi milik mereka.
Eunsu buru-buru meminta maaf dan memungut barangnya kembali. Dia menaruhnya ke dalam tas dan memasukkan beberapa barang lain dari meja agar tidak terjatuh lagi. Eunsu memasukkan semuanya sampai tas itu penuh sesak. Namun, ponselnya tetap tidak ditemukan.
Di mana aku meninggalkannya? Gadis itu meremas dan menggaruk kepalanya yang pusing. Eunsu tidak mengingatnya sedikit pun karena dia tak memainkan benda itu sejak pulang dari minimarket.
Apa aku tidak sengaja meninggalkannya di toilet tadi? Eunsu segera beranjak dari kursi dan bergegas lari ke toilet usai melakukan kilas balik singkat akan beberapa hal yang dia lakukan pagi ini.
Akan tetapi, saat dia hendak melewati pintu, wajahnya justru menubruk tubuh seseorang yang sangat keras. Eunsu menyerukan denyutan yang langsung menyerang kepalanya. Dia mengusap-usap keningnya yang terasa sakit sambil menggumamkan keluhan. "Aish! Aku menabrak tubuh orang atau papan kayu. Keras seka–"
Namun, suara Eunsu langsung tercekat saat dia menatap orang yang ditabraknya itu. Tubuhnya pun sontak mematung dengan mata melebar. Rasa sakit di kening Eunsu juga mendadak hilang dan berganti dengan cegukan terkejut yang membuat gadis itu segera membekap mulutnya sendiri.
"Apa maksudmu dengan papan kayu?" Orang itu bertanya dengan wajah setengah marah.
Eunsu menggeleng cepat sambil melompat kecil saat cegukannya menyerang. Setelah itu, dia memilih lari ke kursinya kembali untuk kabur dari situasi yang membahayakan tersebut. Masa bodo dengan handphone itu. Lebih baik kehilangan benda itu daripada harus berhadapan dengan Jihoon.
Di sisi lain, Jihoon yang habis dikatai sebagai tubuh kayu masih merasa jengkel. Kepala Jihoon pun makin berasap karena mendengar suara tawa puas dari pria yang berdiri di sampingnya. Tangannya sudah gatal ingin melayangkan tinju ke arah perut Soonyoung. Tetapi, Jihoon terpaksa menahannya karena sudah janji pada diri sendiri untuk tidak membuat keributan di depan umum.
Alhasil, Jihoon hanya bisa memasrahkan diri dan masuk ke kelas dengan perasaan marah. Wajah Jihoon yang terlihat ganas pun membuat gadis yang menabraknya itu sampai tidak berani menampakkan wajah dan hanya terus membekap bibir untuk menyembunyikan cegukan. Namun, Jihoon juga melewati Eunsu begitu saja karena dia sendiri malas mengurusi orang cegukan.
Eunsu yang menyadari kepergian Jihoon, langsung merasa lega. Cegukannya juga mendadak sembuh. Dia mengelus-elus dadanya sambil melakukan latihan pernapasan. Selamat! Eunsu bersorak dalam hati. Tetapi ....
"Sudah sembuh, kan?"
Bisikkan halus yang tiba-tiba terdengar dari belakang, sontak mengembalikan cegukan Eunsu dengan cepat. Dia pun buru-buru membekap bibirnya kembali. Lalu, saat Eunsu memberanikan diri untuk mendongakkan kepala, hati Eunsu mengumpat. Aish! Sepertinya, dia memang tidak suka aku tenang sebentar.
Namun, lain di hati, lain pula di mata. Meski Eunsu mengoceh sambil mengumpati Jihoon dalam hati, tetapi matanya justru dibuat menyedihkan agar pria dengan wajah dingin itu mau memaafkannya. Cegukan Eunsu yang berubah kronis juga memperkuat akting melasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hear Me
Fanfiction"Lebih sedikit yang kautahu, akan lebih baik untukmu." Datar Jihoon. Dunia Eunsu yang biasanya monoton dan membosankan, perlahan berubah sejak kemunculan pria menyeramkan yang cukup aneh bernama Lee Jihoon. "Urus dirimu sendiri. Tidak perlu ikut cam...