Seseorang memukul meja Eunsu dengan kuat. Membangunkannya dari tidur siang yang sudah berlangsung selama jam istirahat.
Tidak ada raut terkejut. Gadis itu justru tampak santai menyadarkan diri sambil melihat pelaku yang tengah kesakitan. Dengan mata sayu, Eunsu berkata, "Kenapa pakai memukul meja segala? Sakit sendiri, kan?"
"Aku kan mau mengagetkanmu biar kantuknya hilang," kata orang itu sambil menyerahkan sebungkus roti dan susu pisang untuknya.
Mata Eunsu mendadak segar. Tanpa rasa malu, dia segera membuka bungkus roti dan menyeruput susu tersebut sambil memamerkan senyum pada sahabat pengertiannya. "Juni-ya⁴, gomawoyo⁵."
"Untuk apa terima kasih? Seperti dengan siapa saja," ucapnya dengan gaya seorang Jun yang agak khas. Sedikit santai, tetapi kadang terdengar menyebalkan. Namun, karena sudah terbiasa, kesan menyebalkan itu tidak terasa lagi oleh Eunsu.
"Cepat makan sebelum jam istirahat berakhir!" perintah Jun.
Padahal tanpa disuruh pun, rotinya sudah hampir habis. Jika bungkusnya bisa dimakan, mungkin Eunsu akan melahapnya sekaligus. Sekarang dia sangat lapar karena melewatkan makan siangnya lagi.
Untung saja dia punya Jun yang mengerti kondisinya. Jadi, dia tidak perlu memaksakan diri ke kantin dengan keadaan setengah mengantuk dan berjalan layaknya mumi. Jun juga sudah tahu alasan dirinya sering mengantuk di kelas. Bahkan saat mendengar kejadian kemarin, sahabatnya sangat ingin memarahi pembeli yang datang dan pulang malam-malam itu.
Mending jika orang itu datang untuk makan. Lah ini hanya duduk diam sambil melihat keluar jendela. Belum lagi orang itu hanya membeli kopi. Eunsu kan jadi tidak akan dapat bonus tambahan untuk lembur menunggunya itu.
Jika memikirkannya lagi, Eunsu merasa kelelahan dan rugi waktu. Namun, dia hanya bisa menghela napas.
Setelah Eunsu menghabiskan camilannya, Jun tiba-tiba memberi informasi yang baru teringat. "Di kantin tadi, telingaku banyak menangkap berita soal anak baru yang katanya akan pindah ke sekolah ini. Ada tiga orang."
"Eodi⁶?"
"Di sini."
"Iya, maksudku kelas berapa?" Eunsu meremukkan bungkus roti itu, lalu mengandaskan susunya dalam sekejap. Mengeluarkan suara kenikmatan dari perut yang sudah terisi meski belum sepenuhnya penuh.
"Molla⁷. Baru ada yang melihat mereka keluar dari ruang guru pagi ini. Katanya sih tampan," ucap Jun tak acuh. Dia tidak terlalu suka menyebut pria lain tampan. Bukan karena dia masih normal, melainkan sebab dirinya merasa lebih tampan.
"Jika mereka setampan itu, harusnya berita mereka udah menyebar luar di satu sekolah."
Tidak ada aba-aba, Jun main menyentil kening Eunsu. "Makanya ... kalau sekolah, jangan dipakai untuk tidur! Cepat berhenti kerja biar fokus belajar. Jika bosan dengan hidup sendiri, kerjakan hal lain saja."
Sehabis mengomel panjang lebar, Jun baru memberi tahu tentang berita anak baru itu lagi. "Sekolah sudah ramai membicarakannya sejak tadi. Kau saja yang tidak dengar."
"Jinjja⁸?" Eunsu pura-pura terkejut, setelah itu merespons dengan tak acuh. "Ya sudahlah. Peduli sekali? Mereka saja belum tentu peduli padaku."
Jun mendesis saat mengerti arah pembicaraan Eunsu. "Daripada kau terus mengeluhkan hidupmu yang sangat normal itu, coba tinggal di hutan saja. Hidup seperti tarzan. Mungkin saat kembali nanti kau sudah bisa bicara dengan gorila dan jadi terkenal."
Eunsu menanggapinya dengan tertawa. "Tidak hanya tampan, ternyata temanku ini bisa melucu juga." Sama sekali tidak sadar jika ucapan itu adalah sindiran untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hear Me
Fanfic"Lebih sedikit yang kautahu, akan lebih baik untukmu." Datar Jihoon. Dunia Eunsu yang biasanya monoton dan membosankan, perlahan berubah sejak kemunculan pria menyeramkan yang cukup aneh bernama Lee Jihoon. "Urus dirimu sendiri. Tidak perlu ikut cam...