3. Gue Janji....

79 35 8
                                    

"Rasanya mustahil jika tidak ada yang berubah. Karena pada akhirnya, semua takkan lagi sama."

*****

Setelah Isya, mereka bersantai bersama di atap, sambil memasak makan malam. Echa, Reline, dan Salma, bergegas menyelesaikan masakan. Sedangkan Alea duduk memandang Daniel selidik. Ia tidak memperbolehkan pria itu beranjak dari kursi.

"Lu pasti belajar tentang sistem pencernaan manusia, 'kan?" tanya Alea serius.

Daniel mengernyit, ia mengangguk kemudian. "Semester dua." Ia tersenyum takut. "Alea, lu kayak ibu tiri. Jangan jahat-jahat sama gue, dong."

Bunyi keras terdengar dari meja yang ditepuk Alea dengan tangan, membuat Daniel terkejut. "Harusnya lu jagain Echa, jangan sampai dia minum kopi lagi. Adik-adiknya masih butuh dia," omelnya.

"Kata Echa, dia cuma seseka ...." Ia tertunduk, lalu melirik Alea yang tampak menyeramkan.

Alea melipat kedua tangan di depan dada. Ia mengembuskan napas berat. "Kami menjaga Echa bukan sekadar karena dia sahabat kami, atau adik-adik." Ia mencondongkan badan ke depan. "Tetapi, juga sudah dititahkan oleh pangeran dari negeri seberang," bisiknya.

"Egi?!" tebak Daniel sedikit emosional sehingga menaikkan intonasi suara. Alea tampak panik, ia melihat ke arah tiga orang temannya yang fokus memasak. "Gue cuma pernah dengar nama, tapi gak tahu kisahnya. Kalian gak mau ngasih tahu!"

"Eh, nama itu gak boleh disebut dekat Echa!" seru Alea dengan suara tertahan. "Pokoknya karena lu lebih sering sama Echa di luar, jadi, lu harus perhatiin kesehatan dia."

"Jangankan kesehatan, Echa gak ganti kaus kaki tiga hari aja gue perhatiin."

Tatapan tajam menusuk langsung mengarah pada Daniel. "Astaghfirulloh, lu itu seenaknya aja menyelidiki aib anak gadis orang," ungkap Alea. Namun, ia tertawa kemudian.

"Assalamu'alaikum, Para manusia biasa!" 

Gevan berseru heboh dengan senang, di belakangnya ada Kevin yang tampak lelah sekali—berjalan sambil memegang belakang leher dan mengurut kening. Mereka pun menjawab salam Gevan sambil menyajikan makanan di atas meja.

Tempat tinggal Gevan dan Kevin, berseberangan dengan gedung ini. Ya, memang jarak flat mereka dekat, walau berbeda gedung. Lagian, mereka semua satu kampus. Kecuali Daniel, yang tinggal di rumah orangtuanya.

"Daniel ... makasi lu udah bantuin Echa," kata Gevan sambil duduk di sebelah pria itu. 

Daniel tertawa kecil. "Santai aja. Lagian Echa juga sahabat gue."

"Sahabat, ya!" seru Kevin. Ia menunjuk Daniel sambil tetap mengurut kening. "Gue tandain kata-kata lu," katanya pelan, yang dijawab tawa kecil oleh Daniel.

Gevan menatap Kevin. Ia menyentuh kening sahabatnya itu, lalu menoyornya kuat, sehingga kepala Kevin terdorong ke belakang. "Panas, Kev, gue sampai kaget."

"Ya gak ditoyor juga kepala gue!" Kevin memandang Gevan kesal. Haruskah menyiksanya di saat-saat seperti ini? Namun, ia tidak ada tenaga untuk meladeni Gevan. Ia pun menoleh ke arah Alea di sebelahnya. "Ale, katanya lu mau nemenin gue sampai selesai acara. Kenapa pergi lagi, sih?"

"Capek, gue mau istirahat," jawab Alea cuek.

"Dulu lu selalu bareng dan jagain Kevin, Le," kata Gevan. "Jangan berubah terlalu banyak, Le. Dia juga sahabat lu."

"Kenapa jadi gue yang salah?" tanya Alea tak terima. "Lagian di sana banyak kok cewek-cewek yang peduli sama Kevin. Apalagi anak dari organisasi dia itu. Kenapa harus ngerepotin gue?" Ia tertawa kemudian, berusaha mengontrol emosinya. "Kalau gue peduli, dapat apa? Paling dapat hikmahnya doang."

BABEGI & SAYYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang