44. Ketika Beda Usia

55 30 3
                                    

"Kamu adalah prioritas. Meski memilikimu belum menjadi realitas."
****

Yoan memandang datar ke arah lapangan futsal. Orang-orang yang duduk di tribun selain dirinya, terlihat bersemangat dan heboh. Bahkan, ada sekumpulan gadis yang memegang handbanner tertulis namanya, sambil bersorak.

"Ayo, lah, Bang, ikut main." Terlihat laki-laki dengan seragam futsal lengkap berwarna hitam-merah menghampirinya dengan wajah memelas. "Pendukung Bang Yoan banyak, tuh."

Belum sempat Yoan menjawab, teman sekelasnya yang mengenakan seragam sama menghampiri. "Sesekali, Bro. Lu belajar melulu."

"Capek banget gue. Gak ada seragam juga," jawabnya cuek.

"Lu sih, Yoan, belajar melulu. Udah pasti dapat beasiswa juga." Ia lalu menunjuk ke sudut ruangan. "Seragam banyak di sana, baru-baru lagi."

Yoan melipat kedua tangan di depan dada. "Sebentar lagi, kita mau ujian, wajar kalau gue belajar lebih keras."

"Eh, lagian hari ini guru ngasih kita libur belajar, buat tanding olahraga, lu pikir karena apa?"

"Karena guru-guru mau rapat dan persiapan ujian kelas dua belas," jawab Yoan malas.

Temannya itu menggerutu, lalu duduk di sebelahnya. "Buat ngurangin bocah depresi karena belajar, kayak lu!" Ia menunjuk ke arah sekumpulan gadis yang duduk di tribun, yang memandang mereka senang. "Lu mau ngecewain penggemar lu?"

Yoan berdiri, memasukkan sebelah tangan ke dalam saku celana. "Gue gak peduli. Gue mau tidur di UKS."

Temannya itu tak bisa lagi berkata-kata, sedangkan Yoan telanjur melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah, ia terdiam karena kaget.

"Kak Am? Lu kok di sini?"

Ya, saat ini Amanda berdiri di depannya dengan senyuman mengembang. Gadis itu juga memegang handbanner dengan tulisan namanya.

"Gue gak ada jadwal kuliah. Terus, IST mengadakan pertandingan, jadi gue ke sini." Ia mengangkat handbanner-nya—yang tertulis 'Yoanda Mahesa'. "Katanya lu ikut futsal? Wah, gue pikir lu bisanya cuman karate."

"Gue jago futsal. Ini mau ganti baju dulu. Lu duduk aja di sini, Kak." Ia berbalik, kembali berjalan ke tim-nya yang menunggu penuh harap. Belum jauh melangkah, ia berbaik sebentar. "Kak! Gue lupa, tanggal lahir lu berapa?" tanyanya setengah berteriak karena suaranya beradu dengan suara penonton.

Amanda mengernyit, lalu menjawab dengan jari yang terangkat ke atas, "Tanggal tiga."

Yoan mengangguk, kemudian bergegas pergi.

"Dasar tuh anak, gak murah senyum," gerutu Amanda. Ia tersenyum kemudian. "Syukurlah, begitu aja udah bagus." Ia memalingkan wajah karena malu sendiri.

Tak sengaja, ia bertemu pandang dengan sekumpulan gadis yang memegang handbanner sama dengannya. Para gadis berseragam IST itu menyapanya sopan, yang dibalas Amanda dengan senyuman, dan kembali melihat ke lapangan futsal.

Ia pun mendengar samar para gadis itu sedang membicarakannya. Tak banyak yang jelas, hanya terdengar jika mereka menyebut Amanda adalah senior mereka yang popular dan dulu menjadi 'wajah' IST dengan Egi.

Fokus Amanda yang sedang menguping pun teralihkan, ketika orang-orang berteriak heboh ke arah lapangan. Ia tersadar jika para pemain sudah memasuki lapangan, begitu juga dengan Yoan. Pria itu mengenakan seragam hitam-merah dengan angka tiga yang besar di punggung.

"Eih, dasar." Amanda menatap kesal ke arah gadis-gadis yang berteriak dengan keras, mengganggu gendang telinganya. Apalagi mereka meneriaki nama Yoan. Ia beralih memandang Yoan yang terlihat serius. Ya, itu ciri khasnya. Ia selalu begitu.

BABEGI & SAYYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang