Gevan dan orangtuanya sudah menunggu di depan rumah sakit. Dokter dan perawat juga sudah bersiap, dan ruangan telah disediakan. Tak lama, mobil yang menjemput istrinya datang. Semua langsung bersiap. Azio dan istrinya terlihat cemas, apalagi Gevan.
Ia segera membantu menuntun istrinya untuk tidur di brankar dorong. "Sayang ... maaf, ya," katanya khawatir. "Tahan, ya." Ia menggenggam tangan istrinya, dan brankar mulai didorong menuju ruangan bersalin.
Meski sakit, Reline tidak mau berisik apalagi berteriak-teriak. Ia hanya memandang wajah suaminya, membuat senyuman kecil terukir di wajahnya. Pasalnya, wajah suaminya cemas sekali dan mulai pucat, seperti suaminya itu yang akan melahirkan. "Lu jangan pingsan, ya," ujarnya setengah bercanda.
Sementara itu, Egi dan Echa baru sampai di rumah sakit. Kevin dan Alea juga datang bersama. Phi, Mia, Sanjana serta Kusuma dan istri juga datang dengan wajah khawatir. Mereka bersama-sama masuk menuju ruang bersalin yang sudah diinformasikan Azio.
"Gimana?" tanya Phi kepada Azio yang berdiri di dekat pintu ruangan. Ia juga menepuk pelan pundak temannya itu untuk memberikan kekuatan. "Udah mulai?"
Azio mengangguk. "Gevan di dalam. Padahal udah dicegah jangan, soalnya dia pucat. Eh, malah maksa."
Evan yang sudah berada di sana turut berkomentar, "Ntar kalau pingsan, nambah-nambah kerja dokter di sana."
Egi, Kevin, dan Alea saling pandang. Mereka menahan tawa.
"Padahal Reline berani aja itu," ungkap Echa ke suaminya. "Gevan yang penakut gak, sih?"
Bukan hanya suaminya yang mengangguk, tetapi Kevin dan Alea juga.
****
"Sudah mulai terlihat, ya, Bu Reline," kata dokter memberi aba-aba.
Gevan menggenggam kuat tangan istrinya. "Sayang ... kamu bisa."
Napas Reline naik-turun. Sudah setengah jam ia di ruangan ini, dan mendengar ocehan suaminya. "Keluar aja lu, Gev," usirnya. "Mana anak lu udah ngambek, susah keluar."
"Astaghfirulloh, Re," ucapnya kaget. "Gue mau menemani lu, Sayang ...."
"Bantu doa," ungkapnya pelan.
Sedangkan sang bidan terus memantau, ia lalu berkata ramah, "Tarik napas dalam-dalam, Bu, setelah itu tiup perlahan. Tiup-tiup aja, Ibu."
"Buset gue udah jadi Ibu-Ibu." Reline hendak tertawa, tetapi tidak bisa. Benar-benar sakit, pinggangnya terasa akan putus. "Nyawa gue ...." Air matanya menetes. Ia tidak sanggup lagi.
"Ibu jangan panik, tetap dorong perlahan," suruh dokter, mengingatkan.
Sang bidan yang mulai bisa memasukkan tangannya, berkata, "Ayo, Ibu, sedikit lagi. Terus tiup-tiup, Ibu."
Gevan menghapus air mata istrinya, padahal air matanya sendiri menyucur deras, antara takut, khawatir, dan bahagia. "Ayo, Sayang, tarik napas dalam-dalam ... tiup." Ia melakukan hal yang sama untuk menyemangati istrinya. Bahkan, ia juga tak melepaskan genggaman tangan sedetik pun dari tangan sang istri, meski tangannya sudah memerah dan berdarah terkena kuku akibat cengkeraman yang sangat kuat.
Senyuman Reline tipis sekali melihat suaminya, yang turut menarik napas dalam-dalam lalu meniup-niupnya, sambil mengelap dahinya yang dipenuhi keringat. Tidak bisa dimungkiri, rasanya ia telah melihat malaikat maut dan teringat semua dosa-dosa. Seakan-akan cuplikan-cuplikan semasa hidupnya berputar.
"Ibu tetap sadar!" seru sang dokter.
Reline yang semula hampir memejamkan mata, kembali membuka matanya. Gevan menangis, ia berusaha menahan isakan meski tak berkata apa pun. Ia memandang istrinya. "Gue gantiin lu, ya. Gue bakal melakukan apa pun." Ia berusaha tersenyum. "Tapi gue yakin lu bisa. Lu wanita paling kuat yang pernah gue kenal."
KAMU SEDANG MEMBACA
BABEGI & SAYYA
Romance[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Sequel dari BABEGI. International School of Talents (IST) menjadi saksi kisah komedi-romantis terseru dengan sentuhan islami.🔥 Kini, kisah mereka berlanjut di bangku perkuliahan! BABEGI & SAYYA "K...