56. PERTAMA

52 26 2
                                    

"Aku dan kamu ... tidak salah. Jangan sampai kita terkecoh, lalu membiarkan orang lain berhasil memengaruhi hubungan kita. Sedari awal, kita adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, dan akan selamanya begitu. "
***

Egi terdiam menatap Echa, yang juga sedang menatapnya. Mereka duduk di lantai, dibatasi meja. Malam ini, mereka tinggal di hotel Z Star, sekalian bersenang-senang kalau kata para orang tua—menikmati malam pertama.

Di atas meja, di sisi kanan Echa, ada kotak besar berisi amplop, sedangkan di sisi kirinya ada susunan uang. Sedangkan di lantai, berserakan amplop kosong.

"Satu juta lima ratus!" tebak Echa.

Egi menggeleng. "Ini dari wakil kepala sekolah." Ia berpikir. Meraba ketebalan amplop, dan merasakannya. "Dua juta!"

"Oke! Lu buka!" Echa bersiap dengan lipstik di tangan. Wajah Egi sudah dipenuhi coretan darinya, karena sering salah menebak. Begitulah permainannya.

Uang dari amplop yang cukup tebal itu, dikeluarkan sambil dihitung Egi satu-satu.

"Yes! Gue benar! Dua juta!" seru Egi senang. Ia lantas merebut lipstik di tangan Echa, dan melukis kumis kucing di wajah istrinya itu. "Makin imut istri Egi," ungkapnya sambil tertawa.

"Kali ini kalau gue menang, gue habisin jidat lu!" seru Echa sambil menyusun uang tadi di sisi kirinya.

Egi memandang tak terima. "Kan, lu niat jahat sama suami sendiri, tega banget."

Tatapan Echa berubah sengit. Ia menjunjung tinggi rasa kompetitif. Tangannya mengambil sebuah amplop yang belum terbuka, dan meletakkannya di tengah mereka. "Lu tebak."

Egi melihatnya, tidak ada nama pengirim. "Sejuta," tebaknya.

"Lebih dari sejuta." Mata Echa menyipit tajam memandang suaminya, begitu juga sebaliknya. Ia mulai membuka amplop, semua berisi uang pecahan seratus ribu.

Tangan Echa menghitung cepat berapa helai uang yang ada, sedangkan Egi berdebar, takut-takut menanti. Saat ini ia kalah telak—dilihat dari wajahnya yang penuh coretan. Ia harus menang.

"Sembilan ... sepuluh ... sebelas!" seru Echa semangat. Ia bersorak senang sambil berdiri, tak lupa goyang kemenangan.

Egi memandangnya kesal. "Bisa-bisanya lebih seratus ribu! Kenapa gak pas aja," keluhnya.

Echa segera naik ke atas meja dengan semangat. Ia menarik dagu suaminya itu, lalu mencoret keningnya sambil tertawa seperti psikopat. "Gue menang, wek!" Ia memeletkan lidah. "Padahal lu atlet catur, tapi bisa kalah dalam hal memprediksi." Ia duduk di atas meja, meletakkan kedua tangannya di atas bahu Egi. "Oh my god!" Ia memandang lekat wajah suaminya itu. "Begini aja lu tetap tampan, Gi. Wajah lu merah semua."

"Siapa tersangkanya?" tanyanya malas.

"Gue!" seru Echa senang, lalu memeluk Egi.

Egi tertawa kecil karena sikapnya. "Kayaknya lu suka meluk, ya?"

Echa mengangguk. "Hobi gue sekarang meluk Egi." Ia lalu memandang wajah suaminya, dengan tangan yang masih melingkar di lehernya. "Kenapa? Gak suka? Gak apa-apa, gue suka."

Ia terdiam ketika suaminya itu tidak merespons, tetapi justru menatapnya lekat. Tatapan mereka mengunci. Ia memajukan wajah, agar semakin lebih dekat.

"Cha," panggil Egi. "Sekali lagi, ya? Gue pasti bisa nebak dengan benar."

Echa berdehem. Ia menurunkan tangan, lalu berguling di atas meja, dan duduk di tempatnya yang semula. "Oke, kalau lu kalah, tidur di sofa," ungkapnya kesal, membuat Egi menahan tawa.

BABEGI & SAYYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang