33. Duloxetine

49 29 7
                                    

"Bagaimana kabarmu? Ah, maksudku .... Bagaimana kabarmu yang sebenarnya?"

****

Kevin menyembunyikan wajah dengan buku menu di tangan. Ia mengangkat tinggi-tinggi, sampai menutupi wajah, walau sesekali mengintip ke arah meja yang tak jauh darinya. Saat ini, ia berada di dalam kafe yang cukup luas dan bagus.

Ia mengernyit ketika melihat ke arah meja yang diawasi, tiba-tiba kosong. Dua orang yang sedari tadi di sana, tidak terlihat sama sekali. Ia menurunkan buku menu tersebut, kedua alisnya bertaut.

"Lu ngapain?" tanya Alea yang berdiri di dekat Kevin sambil bersedekap dada. "Kenapa seharian ini, lu awasi gue sama Tae?"

"Gu-gue ...." Kevin gelagapan, ia ketahuan. "Tae mana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Alea memandang tajam. "Ke toilet!" serunya penuh penekanan. "Jawab pertanyaan gue tadi!"

"Oke-oke. Gue senggang, jadi jalan-jalan."

"Oh, jalan-jalan lu itu ngikutin gue? Gue udah sadar dari pagi, ya!" Alea terlihat kesal. Ia tidak nyaman diawasi seperti ini. "Gue biasa kok, jalan sama Tae. Lagian sekarang, kami diskusiin pekerjaan."

"Eh, ada Bang Ke?" sapa Tae. Tadi ia heran mengapa tidak ada Alea di dekat meja. Ternyata, gadis itu di sini. "Sendiri, Bang?"

"Iya, nih," jawabnya enteng. "Kalian gabung sini aja. Gue yang traktir," ajaknya dengan senyuman mengembang.

Tae memandang Alea, melihat jawaban gadis itu. Sementara itu, Alea hanya memutar bola mata, malas.

Entah sampai kapan ia dan sahabat prianya itu seperti ini. Sahabat yang juga dicintai, sedari dulu.

****

Sebuah ruangan yang cukup luas, berisi perabotan yang tertata rapi. Rak-rak buku tampak berjejer. Ada juga meja besar kantor, dengan dua kursi di dekatnya. Di atas meja itu, terdapat komputer, dan kertas-kertas yang tersusun. Tak jauh dari sana, ada sofa dan jendela yang membantu penerangan.

Plang nama di atas meja, bertuliskan dr. Jo, Sp.KJ. Sang dokter yang berparas ramah dan bersahabat, sedari tadi mendengarkan dengan sabar cerita dari Echa, yang masih tampak ragu-ragu.

"Saya diam-diam menangis ketika mandi, atau setelah mandi sewaktu mengenakan pakaian." Ia tampak berpikir, lalu tersenyum kecil. "Pernah suatu waktu, saya membaca cerita yang lucu sekali. Bukannya tertawa, saya malah menangis, padahal saya ingin tertawa dan tidak merasa sedih sama sekali."

Dokter Jo tersenyum kecil. "Echa sudah lama mengabaikan 'perasaan itu', bukan?"

Echa tertawa paksa. "Saya baik-baik saja, Dok. Hanya ingin curhat," elaknya.

"Echa mahasiswi kedokteran yang cerdas." Ia mencondongkan badan ke depan, lalu berkata pelan, "Makanya Echa ke psikiater, bukan ke psikolog, jika hanya sekadar untuk curhat, 'kan?"

"Baiklah, Dokter." Ia menggaruk tengkuk. "Sebenarnya ... sudah sampai pada tahap yang mengganggu. Saya cemas sepanjang hari, kadang sampai tubuh bergetar, gangguan tidur, perubahan suasana hati yang cepat." Embusan napas berat terdengar, ia mengangkat sebelah bibir. "Meski masih bisa terlihat baik-baik saja di depan orang lain."

***

Echa duduk di taman depan Sekolah Meraih Impian. Karena sudah terlanjur ke daerah sini, dan izin kuliah seharian, ia memutuskan untuk menemui Egi. Lagian, sudah satu minggu mereka belum bertemu. Berkomunikasi lewat ponsel pun hanya seperlunya.

BABEGI & SAYYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang