"Aku bersamamu bukan karena ingin, tetapi karena aku butuh dan tak bisa hidup tanpamu."
***Pintu mobil Daniel terbuka, Echa masuk dengan riang lalu menyodorkan sekotak makanan padanya.
"Nih, gue masakin sarapan," katanya.
Namun, Daniel hanya terdiam memandangnya, seakan-akan ada hal aneh yang dirasakannya.
Echa membuka kotak tersebut. "Ya, udah, sambil lu nyetir, gue suapin. Lu harus makan, Dan."
"Cha ...," panggil Daniel akhirnya. "Lu jangan merasa bersalah karena hal kemarin. Gue gak apa, Cha."
Echa terdiam. Ia memalingkan wajah sebentar, kejadian kemarin kembali teringat olehnya.
Waktu itu, ketika Echa selesai menerima telepon dari Egi, ia kembali masuk ke dalam mobil. Keadaan memang canggung sesaat, lalu ia memberanikan diri untuk berbicara. Ia menatap Daniel, yang juga sedang memandangnya, lalu berucap, "Dan ... maaf. Gue harus jujur."
"Apa, Cha?"
Echa menelan ludah. Ia tidak tega, tetapi terlalu jahat rasanya jika terus-terusan memendam ini. "Gue lihat lu sebagai Egi," ungkapnya cepat. Ia melihat raut wajah Daniel yang bingung, lalu kembali mengatakan, "Hal-hal yang kalian sukai, sama. Sikap juga gak jauh berbeda. Maaf, selama ini gue melihat lu sebagai Egi, Dan." Ia menunduk, penuh rasa bersalah. "Gue bahkan berharap kalau lu itu Egi, dan gue yakin, kalau Egi yang berada di posisi lu saat ini, dia juga bakal melakukan hal yang sama ... selalu jagain gue."
Daniel tersentak, ia terluka sekali mendengarnya. Meski di satu sisi ia bersyukur jika pertanyaan besarnya selama ini akhirnya terjawab.
"Gue udah pernah ketemu Egi." Daniel tersenyum. "Lu gak salah, Cha."
Echa terdiam. Ia sadar kejujurannya membuat pria itu terluka, dan ia merasa jahat sekali. "Maaf, Dan."
"Apa waktu lu mau cium gue, lu juga anggap gue Egi?" godanya sambil tertawa kecil. Ia tidak ingin berada di situasi buruk seperti ini dengan Echa. Bagaimanapun dan apapun yang terjadi, Echa tetaplah gadis yang selama ini ia cintai. "Kalau kayak gitu, Egi yang asli bakal marah sama gue," candanya.
"Maaf, Dan. Sungguh." Echa terlihat tulus dan tersiksa karena perasaan bersalahnya. Ia tidak mampu berkata apa lagi selain meminta maaf.
Daniel terdiam. Ia berpikir sejenak, lalu menatap Echa sendu. "Apa pernah, lu lihat gue sebagai Daniel Zhou, Cha?" tanyanya serius. Terselip nada penuh harap di sana.
"Daniel Zhou, sahabat terbaik lu." Ia menatap penuh keyakinan. "Itu aja udah cukup, Cha," pintanya sungguh-sungguh.
"Gue sahabat yang buruk."
Daniel menggeleng. "Lu hanya sedang merindukan pria yang lu cintai." Ia tersenyum tulus. "Jangan diulangi lagi, ya, Cha. Gue yakin Egi gak suka hal ini."
"Maaf, Dan," lirihnya.
"Lu benar, Cha, kalau misalnya Egi dikasih kesempatan di posisi gue sekarang, dia pasti lakuin hal yang sama bahkan lebih baik dari gue." Daniel berusaha lapang dada, karena sedari awal dia tahu batasannya, dan Egi juga sudah pernah berkata jika Daniel sudah tertolak sedari awal. "Waktu Egi di sini dulu, gue udah tahu kalau gue gak bakal pernah bisa punya cinta sebesar Egi ke lu. Gue harap takdir di masa depan menyatukan kalian."
Hanya sampai di sana percakapan penuh emosional mereka kemarin. Selanjutnya, Daniel maupun Echa tidak mau ada kecanggungan, dan menstabilkan kembali keadaan, bahwa mereka sahabat, dan selayaknya sahabat.
****
Sebuah apartemen yang cukup mewah—tetapi tidak terlalu luas—terlihat hangat dan nyaman karena tertata rapi dan bersih. Ditambah sinar matahari pagi masuk melalui pintu kaca balkon yang terhubung dengan ruang tamu. Sementara itu, tirai kamar belum tersingkap sedikit pun, sehingga masih gelap di sana—ditambah tidak ada lampu yang menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABEGI & SAYYA
Dragoste[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Sequel dari BABEGI. International School of Talents (IST) menjadi saksi kisah komedi-romantis terseru dengan sentuhan islami.🔥 Kini, kisah mereka berlanjut di bangku perkuliahan! BABEGI & SAYYA "K...