"Aku mohon, jangan memperburuk luka ini. Penderitaan selama ini saja sudah cukup menghancurkan, jangan ditambah lagi. Aku juga ingin baik-baik saja seperti yang lainnya."
****
Echa keluar dari taxi. Perasaannya sedang baik sekali, walau angin malam yang dingin menyapa.
Baru tadi sore, ia pulang setelah tiga hari mengikuti kegiatan pengabdian bersama organisasi Kevin itu. Lagian anehnya, Alea lebih bersemangat untuk pulang. Berbeda dengan Kevin yang masih harus tinggal di sana, karena pekerjaannya belum selesai.
Dari Depok, Daniel langsung mengantarkannya kembali ke Jakarta. Echa tidak sabar bertemu dengan Yoan, yang tiba-tiba meminta untuk segera bertemu. Namun, adiknya itu malah mengabari untuk bertemu di kafe. Jadilah sekarang Echa di sini, di trotoar sambil mencari alamat kafe yang dimaksud adiknya itu.
Sebenarnya, Echa agak heran. Tumben sekali Yoan seperti ini. Ditambah, adiknya itu berkata jika ada orang yang ingin bertemu dengannya. Ia lalu tertawa kecil. Jangan-jangan Yoan ingin membawa Amanda padanya. Hah, rasanya tidak menyangka adiknya itu sudah besar.
Echa berhenti di depan sebuah kafe. Ia melihat alamat dan nama kafe itu. Sesuai.
Ia pun mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di daerah ini, cukup banyak bangunan-bangunan berjejer—kebanyakan toko dan kafe.
Ponselnya bergetar. Ia mengecek ponsel, ada pesan masuk di sana.
Oke, Cha. Nanti kabarin gue ya, kalau udah selesai.
Ia tersenyum lebar membacanya. Ia baru bisa berkomunikasi dengan Egi, karena selama di sana kemarin, listrik padam, sehingga sinyal pun susah.
Ia pun menyimpan ponsel, lalu melangkah senang memasuki kafe. Ia tidak sabar bertemu Yoan, dan Amanda, jika memang benar gadis itu yang dimaksud adiknya.
Langkah kaki Echa sontak berhenti. Senyumannya yang semula mengembang, tiba-tiba hilang. Ia menelan ludah.
Ia melihat kedua orangtuanya duduk di sana, dan Yoan duduk di seberang mereka. Walau Yoan memunggunginya, ia sangat mengenali jika itu adalah adiknya, Yoan.
"Sayya!" seru kedua orangtua Echa serentak. Mereka tampak antusias dan senang sekali. Sementara itu, Echa bergeming. Ia mematung, kakinya terasa berat sekali untuk melangkah.
Mendengar nama kakaknya disebut, Yoan menoleh ke belakang. Ia langsung berdiri menghampiri Echa, lalu menatap kakaknya itu lama. Ada sedikit rasa penyesalan dalam dirinya. Namun, ia mengangguk kemudian, meyakinkan kakaknya itu.
Ia menggandeng tangan Echa, mengajaknya duduk di hadapan orangtua mereka. Echa mengikuti. Lagian tidak mungkin ia pergi begitu saja, karena bagaimanapun, pria dan wanita yang di hadapannya saat ini tetap orangtuanya.
"Sayya, apa kabar?" tanya ibunya dengan senyuman mengembang. Padahal, lebih terkesan canggung.
"Alhamdulillah, baik," jawab Echa ragu. Entah mengapa, semua masa lalunya terlintas di dalam pikiran. Mulai dari semenjak mereka menelantarkan ia dan adik-adik, sampai hal-hal berat yang ia lewati bersama adik-adik tanpa kehadiran mereka.
Hening. Kecanggungan kembali tercipta. Sementara itu, Yoan memilih diam. Sama saja, ia seperti ini karena tak punya pilihan—mereka tetap saja orangtuanya. Ketika mereka meminta untuk bertemu, ia terpaksa menuruti. Mereka ... dua orang yang meninggalkannya sedari ia kelas tiga Sekolah Dasar.
Ia bahkan masih teringat jelas semua itu. Saat orangtuanya ini meninggalkan mereka di rumah. Lebih kasihan si kembar Vale dan Valexa, yang sewaktu itu masih berusia empat tahun. Ibunya pergi keluar negeri dengan pacar bulenya, dan si ayah ternyata sudah menikah sirih dengan wanita lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABEGI & SAYYA
Romance[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Sequel dari BABEGI. International School of Talents (IST) menjadi saksi kisah komedi-romantis terseru dengan sentuhan islami.🔥 Kini, kisah mereka berlanjut di bangku perkuliahan! BABEGI & SAYYA "K...