|| 16: Cal's pov | 3917 words ||
Aku tahu Ilyas marah saat kami mesti meminta pengawalan Polisi Nusa. Rahangnya mengencang, alisnya mengerut tak suka, terutama saat mendengar suara Inspektur Polisi Aryan dari balik penyekat kaca. Namun, pemuda itu menahan amarahnya.
"Harus ada minimal dua orang polisi yang siaga di pos," kata sang inspektur polisi dengan senyum menawannya. "Dan sekarang hanya ada saya dan Pak Bas. Bisa kalian menunggu sebentar sampai petugas patroli kembali? Tidak akan lama."
Rambutnya masih tersisir rapi dengan poni tersibak ke samping. Matahari pagi menyorot dari pintu yang terbuka di belakangku, menerangi mata Polisi Aryan yang cokelat madu. Pada dinding belakangnya, tergantung beberapa sabuk senjata, kantong amunisi bandoleer, dan shoulder holster—oh, sudah lama sekali aku kepingin model itu.
Dari kursi tempat Ilyas dan aku duduk di depan pos, kami bisa melihat tugu selamat datang pada batas kota Renjani dan bangunan apotek yang kami susupi tempo hari. Aku mengajak Ilyas bicara beberapa kali, tetapi pemuda itu pura-pura sibuk menguncir rambut Emma yang duduk di pangkuannya.
"Maaf aku tidak bilang-bilang dulu kita bakal minta kawal PN," bisikku. "Jangan marah begitu, Ilyas. Kau pasti sadar kita tak ada pilihan. Kita tidak ada kendaraan."
"Hmm," ujarnya tak acuh. "Aku mengerti."
"Kau mengerti, tapi kau masih mendiamkanku." Kucengkram pergelangan tangannya. "Dan rambut Emma sudah rapi dari tadi! Kalau kau butuh alasan buat mengabaikanku, rapikan rambutmu sendiri!"
Ilyas menepisku. Dia membuka tasnya, mengeluarkan sebuah topi, dan memasangnya. "Selesai."
"Setidaknya beri tahu aku kenapa kau benci sekali sama PN," desakku. Lalu, sambil melihat ke arah Polisi Aryan di dalam, kurendahkan volume suaraku. "Atau, kasih tahu aku kenapa kau benci pada satu polisi spesifik yang itu."
Wajahnya berbayang di bawah lidah topinya, jadi Ilyas dua kali lipat lebih seram dari biasanya saat melirikku. Dia seperti sedang berusaha menikamku sampai mati dengan tatapan dari sudut matanya itu.
"Oke," kataku menyerah. "Pokoknya, kita tidak akan minta kawal terus, Ilyas. Cuma sampai batas kota Radenal, dan aku akan pinjam kendaraan teman. Soalnya naik angkutan umum sekarang terlalu berisiko."
Sebelum Ilyas merespons, seorang polisi seumuran Prama melangkah keluar dari pos. Beda dengan Aryan, Bapak polisi yang ini terlihat tua, kusut, lesu, mengantuk, dan bau keringat serta minuman keras menempel di badannya. Ada bekas luka gores yang masih baru di dagunya dan banyak sekali plester luka di punggung tangannya. Tanda pengenal di dada seragamnya mencantumkan "Bastian", jadi ini pasti Pak Bas yang bakal mengantar kami.
"Petugas patroli tidak menjawab panggilan, tapi kurasa mereka sudah dekat." Pak Bas merpikan kerah seragamnya sambil menguap. "Kalian ke Radenal, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Escapade 1: A Lone Wayfarer
Mystery / ThrillerSudah empat tahun Ilyas tidak keluar rumah. Kini, pemuda itu terpaksa pergi ke dunia luar dengan Emma, adik kecilnya, dan Cal, seorang teman lama, untuk menyelamatkan diri mereka di tengah kiamat zombie. Namun, sepanjang jalan, sesosok zombie bernam...