14. Cal dan Permintaan Pertama

3.1K 990 134
                                    

|| 14: Cal's pov | 2611 words ||

Setelah memakamkan si nenek di pekarangannya, aku masih menunggu jawaban Ilyas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah memakamkan si nenek di pekarangannya, aku masih menunggu jawaban Ilyas. Pemuda itu tampaknya masih butuh waktu untuk memutuskan.

Aku menginap selama dua malam, tidur di depan televisi. Sedangkan Ilyas bisa tidur di mana saja—di sofa, di kamarnya, di kamar Bu Miriam, di lantai di bawah ayunan kain, intinya di mana pun adiknya jatuh tertidur. Namun, kurasa dia tidak tidur sama sekali setelah kematian Nenek Aya. Dia cuma berbaring di sana, mata memejam untuk beberapa saat sebelum membuka lagi dengan tatapan melamun. Ilyas jadi jarang bicara, dan kekosongan pada sorot matanya mulai menakutiku.

Selama menginap, aku mencoba mendekati Emma. Anak itu masih membelalak saat melihatku terlalu dekat. Aku ingin membantu Ilyas—dia melakukan pekerjaan rumahnya dengan Emma menggelantungi kaki atau ujung bajunya, dan kadang Ilyas harus melepas pekerjaannya untuk mengejar adiknya yang hampir jatuh dari atas meja—sumpah, aku sendiri tak tahu bagaimana Emma bisa sampai ke sana. Kalau Emma mau kugendong tanpa jadi heboh menjerit atau menangis, kerjaan Ilyas mungkin lebih ringan.

Pukul 2 siang di hari ketiga aku di sana, saat membantu Ilyas membersihkan peralatan makan usai makan siang, aku mencoba mengajaknya bicara lagi. Masih tidak ada respons yang berarti darinya.

"Aku tetap bakal menunggu jawabanmu mengenai penawaranku waktu itu."

Aku membungkuk, mencari wajahnya. Matanya masih menerawang pada sisa piring kotor di wastafel. Tangannya membilas, mengelap, dan menyusun piring-piring seperti gerakan otomatis—hanya digerakan kebiasaan bertahun-tahun tanpa ada pikiran atau perasaan di dalamnya.

"Aku akan mengecek Emma," ujarku jengkel karena diabaikan.

Aku melenggang keluar dari dapurnya sambil mengelap tangan yang basah ke celana. Emma masih duduk tenang di karpet. Papan tulis putih ukuran kecil telentang di hadapannya. Anak itu memegangi spidol hitam di tangan kiri, spidol merah di tangan kanan. Aku jadi teringat kalau Bu Miriam dulunya guru. Emma pasti bisa jadi anak yang pintar sekali ... andai dia tidak tumbuh di penjara yang Ilyas sebut rumah ini, dihantui memori ayah yang tak pernah dilihatnya dan ibu yang hampir tak dikenalinya, dikurung oleh kakak angkatnya sendiri.

Aku mulai mempertimbangkan untuk mendekati Emma, mungkin mencoba mengajarinya berjalan. Di perbatasan, saat distrik tempatku tinggal masih hidup dan dihuni banyak orang, ada banyak sekali anak-anak seperti Emma—prematur, kurang gizi, terlambat bicara dan berjalan. Rata-rata, mereka baru bisa berjalan di umur 3 sampai 5 tahun. Mereka butuh diajak jalan-jalan tiap hari.

Namun, sebelum aku menghampiri Emma, langkahku terhenti di depan pintu. Agak hening di belakangku, hanya suara keran dan bunyi tuk, tuk, tuk berulang. Tidak ada bunyi membilas dan dentingan piring-piring atau gelas.

Aku menoleh; Ilyas masih menunduk di atas wastafel. Tangan kirinya menumpu ke ujung konter dengan jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dengan tempo tetap, terlihat seperti gerakan otomatis juga. Aku tidak bisa melihat tangan kanannya karena terhalang tubuhnya, mungkin masih memegangi piring di bak cuci.

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang