|| 30: Cal's pov | 5907 words ||
"Penyakit prion itu penyakit langka," ujar Randall saat itu. Padahal dia tidak menjawab sama sekali saat kami masih duduk di dalam, tetapi mendadak bicara ketika kami di luar sini. "Tidak banyak penderitanya. Sebagian besar penderitanya meninggal tanpa mengetahui dia mengidap penyakit tersebut. Bagi orang sehat, kelangkaan penyakit itu adalah anugerah—kecil kemungkinan mereka akan mati karenanya. Tapi bagi yang sudah mengidapnya, kelangkaan penyakit itu justru jadi bencana, karena sedikit sekali kesempatan yang diterima umat manusia untuk menelitinya, apalagi menemukan obatnya."
Kukepalkan tanganku. "Dan?"
Randall melirik pentungan yang terselempang di punggungku. "Kau mengingatkanku pada seorang perempuan yang dulu pernah kukenal. Namanya Btari. Orang-orang bilang, dia punya masalah mengontrol emosi. Padahal, di setiap situasi, dialah yang emosinya paling terkendali. Tapi Btari hidup di lingkungan yang orang-orangnya tidak tahu diri, jadi mereka menyalahkannya saat perempuan itu marah—karena orang-orang itu tidak mampu melihat kesalahan mereka sendiri."
"Apa hubungannya itu dengan zombie?!"
"Tidak ada. Aku hanya basa-basi." Randall tertawa lagi. "Ah, ya, dulunya monster-monster itu tidak disebut zombie. Mereka disebut scrapie."
Aku hampir yakin pria ini sengaja. Dia berusaha membuatku kesal, supaya aku mementungnya, dan dia punya alasan mencantolkan borgol ke pergelangan tanganku. Aku bicara begini dari pengalaman pribadi. Karena membereskan zombie ada dalam ketentuan kerja PN dan bukannya kurir, PN biasanya mendapat bonus jika mereka bisa menghabisi atau menangkap zombie, kurir tidak.
Jadi, satu kali saat dalam tugas mengantar barang di Kotatua, aku menghabisi tipe 3 yang bersemayam di sebuah rumah kosong dan sudah seminggu belakangan meresahkan penduduk sekitar. Personel PN baru datang satu jam setelah penghuni rumah lain membuat laporan bahwa si zombie berhasil dilumpuhkan, padahal mereka mengabaikan semua laporan sebelum itu. Ada dua petugas PN yang datang ke lokasi. Salah satunya menginterogasiku dan menyiratkan bahwa aku telah membahayakan warga dengan mengonfrontasi si zombie, petugas yang satu lagi melontarkan simpati palsu bahwa 'gadis kecil malang' sepertiku tidak seharusnya mengotori tangan dengan darah zombie. Aku hilang kesabaran menghadapi mereka. Jadi, aku meninju salah satunya di muka. Seolah telah menunggu-nunggu momen itu terjadi, temannya segera saja meringkusku. Aku dibawa ke kantor polisi, menunggu 48 jam sampai teman-teman kurirku datang dan menebusku keluar. Kedua polisi itu rupanya telah menulis laporan bahwa merekalah yang melumpuhkan si zombie di rumah kosong sementara aku menyia-nyiakan dua hari dua malam dalam sel.
Aku mendapat kesan yang sama dari Randall. Caranya bicara, tatanan kalimatnya, topiknya yang melompat-lompat, dan nada suaranya—semuanya dirancang untuk membuatku jengkel. Untuk membuatku terpeleset dan, sesuai ketakutan Ilyas, agar dia punya alasan menaruhku di penjara.
Meski mengetahui itu ... rasa gatal di tanganku tetap tidak mau hilang kalau aku belum memukulnya.
"Para scrapie dulunya tidak seperti sekarang, kau tahu?" lanjutnya. "Tidak ada yang memakan otak, atau menggigit, atau menyerang membabi-buta—hanya sekumpulan orang lumpuh yang berusaha bergerak, tidak punya ingatan tapi berjuang menjalani keseharian, tidak berdaya mengendalikan badannya sendiri tapi bertahan hidup. Neuron otak mereka mati dan beregenerasi berulang-ulang. Mereka sakit dan sembuh di waktu yang hampir bersamaan. Beberapa orang mulai berpikir bahwa barangkali kematian akan jauh lebih baik untuk para Scrapie."
KAMU SEDANG MEMBACA
Escapade 1: A Lone Wayfarer
Mystery / ThrillerSudah empat tahun Ilyas tidak keluar rumah. Kini, pemuda itu terpaksa pergi ke dunia luar dengan Emma, adik kecilnya, dan Cal, seorang teman lama, untuk menyelamatkan diri mereka di tengah kiamat zombie. Namun, sepanjang jalan, sesosok zombie bernam...