|| 19: Ilyas's pov | 3511 words ||
Meski Cal tepat seraihan tangannya, zombie itu tidak melirik gadis itu sama sekali. Terpintas di benakku, jangan-jangan Cal benar—zombie memang lebih menyukai nutrisi dari otak yang sering dipakai. Meski bukan maksudku menyebut Cal jarang pakai otak, asumsi itu terbentuk sendiri di benakku.
Lalu, dalam sekejap aku kena karma karena secara tak sadar menghina Cal. Aku terjebak di ruangan yang tidak memiliki jalan keluar kecuali bolongan jendela dan plafon yang tersingkap. Padahal ini lantai teratas.
Sebuah tangga lipat berdiri di bawah lubang langit-langit. Jendela atau atap ....
Sambil masih menggendong Emma di satu tangan, aku memanjati tangga dan mendorong diriku melewati lubang pada langit-langit. Kudengar suara geraman, lalu tangga di bawah kakiku bergoyang.
Zombie itu tahu cara memanjat tangga.
Aku buru-buru merayap ke atap, lalu merosot ke tepi karena kemiringannya. Lengan atasku tergores hingga berdarah. Di tanganku yang satu lagi, Emma mulai gelisah. Pada kemiringan atap, aku salah mengambil langkah dan terpeleset. Lukaku bergesekan dengan ujung genting. Napasku tercekat dan kakiku kehilangan tenaga karena rasa sakitnya. Aku berhenti sambil tersengal-sengal.
Dari lubang di atap, si zombie melompat keluar. Tubuhnya memelesat tanpa rem melampaui aku dan Emma sampai ia jatuh terperosok, lalu lenyap di bawah sana diikuti suara hantaman. Namun, aku ragu kejatuhan itu membunuhnya.
Darah meleleh sampai ke pergelangan tanganku. Aku membeku di tepian atap dan bertahan pada kemiringannya, tidak bisa bersuara atau pun bergerak. Gelombang rasa panik mulai menyerang. Napasku memendek dan rasanya dadaku dibakar dari dalam. Jika begini terus, bukan zombie yang akan membunuhku, tetapi serangan panikku sendiri.
"Ilyas—zombie-nya! Jatuhkan zombie-nya!" Cal memekik di belakangku. Dia ikut naik, melewatiku pada keimiringan atap, mencoba mengecek ke tepi. "Ya, Tuhan—dia sudah jatuh, tapi ternyata belum mati-mati jug—gaaaah!"
Aku menangkap lengan bajunya tepat saat kaki Cal menggelincir ke ujung.
Cal berhenti jatuh, tetapi Emma memutuskan saat itu untuk menggeliat. Emma mengerang karena aku terlalu kencang memeganginya. Mataku berkunang-kunang dan rasanya aku hampir tidak bernapas. Aku terlambat menyadari peganganku pada Emma terlepas, dan adikku meluncur ke tepi genting.
Cal mencoba menangkap Emma, tetapi dia hanya sempat menyambar punggung jaketnya. Dalam posisi tergantung yang luar biasa tidak enak itu, Emma menangis. Kedua tangannya mulai melesak keluar dari lengan jaketnya sedikit demi sedikit.
Di bawah sana, si zombie masih berdiri dan menatap ke arah kami. Dia menunggu, dan itulah yang paling menakutkan darinya. Dia menunggu kami jatuh ke hadapannya.
Untuk ukuran zombie, wajahnya masih lumayan utuh, kecuali robekan kecil yang hampir membusuk pada pelipis kanannya. Rambutnya yang hitam agak botak membentuk garis horizontal di atas telinga kanan, berselubung debu dan bekas darah. Bola matanya yang kecil dan abu-abu memerhatikan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escapade 1: A Lone Wayfarer
Mystery / ThrillerSudah empat tahun Ilyas tidak keluar rumah. Kini, pemuda itu terpaksa pergi ke dunia luar dengan Emma, adik kecilnya, dan Cal, seorang teman lama, untuk menyelamatkan diri mereka di tengah kiamat zombie. Namun, sepanjang jalan, sesosok zombie bernam...