26. Cal dan Panti Asuhan

2.5K 653 155
                                    

|| 26: Cal's pov | 1600 words ||

Begitu aku dan Ahmed keluar dari blok jalan panti asuhan, tiap ruas jalan sudah dipenuhi zombie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Begitu aku dan Ahmed keluar dari blok jalan panti asuhan, tiap ruas jalan sudah dipenuhi zombie.

Bahkan untukku, ini terlalu banyak.

Aku membungkuk di samping bak sampah, sedangkan Ahmed berjongkok rendah-rendah di seberangku di sisi pagar kayu sebuah rumah kosong. Kami sama-sama menyiagakan senjata dan mulanya siap membuat keributan untuk memancing para mayat hidup ke lahan ranjau, tetapi kalau sebanyak ini, takkan ada cukup ranjau untuk mengatasi mereka.

Ahmed memasukkan kembali pistolnya dan merangkak ke arahku. "Terlalu banyak."

"Kau bilang yang membuntutimu ke sini cuma sedikit," tuntutku.

"Memang. Sepenglihatanku hanya ada empat atau lima zombie di belakangku."

"Tapi kenyataannya jumlah mereka sekarang empat sampai lima puluh."

"Kau kira, kalau yang membuntutiku sebanyak ini, aku bakal berani menongkrong dan merokok di depan pintu panti seperti kalian menemukanku tadi? Aku berani sumpah yang mengikutiku bahkan tidak sampai sepuluh biji. Sisanya mengikuti Pak Randall ke lahan ranjau di sekitar jalan layang."

Terjadi lagi. Seperti kata Ilyas, terlalu banyak kebetulan untuk disebut kebetulan. Entah kenapa dan bagaimana caranya, gelombang zombie selalu membuntuti jejak kami. Jujur saja, aku mulai terbiasa dengan kehadiran Joo, tetapi aku tidak bisa menampik keanehan yang menyertainya. Sekarang, memikirkan si tipe 4 masih ada di garasi panti asuhan, dengan Ilyas dan Emma masih di sana, dan aku meninggalkan mereka ... perasaanku jadi tidak enak.

"Sekarang kita punya dua pilihan." Ahmed mengacungkan dua jari tangannya. "Evakuasi, atau—"

"Habisi." Aku mencengkram pentunganku lebih erat. "Ini hampir tengah malam dan sebagian besar penduduk di sini anak-anak. Evakuasi bakal sulit. Kita harus menghabisi semua mayat hidup di sini."

Ahmed terdiam. Jari tangannya masih teracung. "Sebetulnya, bukan itu pilihan kedua yang bakal kuajukan."

"Lalu?"

"Kita pergi ke pangkalan PN, hanya 5 kilometer dari sini, dan meminta kiriman pasukan."

Aku menegakkan punggung. Aku tidak pintar-pintar amat, tetapi aku paham jelas inti dari pilihan keduanya. "Kau sadar, tidak, kalau kita pergi dari sini sekarang, para zombie ini pasti bakal sudah menyasar sampai ke panti asuhan bahkan sebelum kita mencapai pangkalan PN?"

"Ya."

Alisku berkedut. Suaraku hampir meninggi. "Dan bagaimana dengan penduduk di sini?"

"Tentu saja kita laporkan sebagai casualty."

Aku hampir membacok pria ini di tempat.

"Pakai otakmu, Anak Muda." Ahmed menepuk jidatku. "Menghabisi zombie sebanyak ini—kitalah yang bakal habis."

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang