|| 28: Cal's pov | 1298 words ||
Randall dan Ahmed datang ke panti asuhan untuk menjemput Ilyas. Ahmed merokok seperti bajingan tanpa peduli bahwa tempat ini adalah panti asuhan, Randall berusaha menanyai kami ke mana Ilyas pergi dan kenapa pemuda itu tidak menunggunya, Kamelia mengalihkan pembicaraan, dan Toren balas bertanya mengenai gelombang zombie yang masuk ke Batavia.
Aku? Aku tidak bisa bicara karena beberapa kali si Kepala Polisi nyaris membuatku terpeleset lidah untuk mengatakan di mana Ilyas dan adiknya berada. Kamelia menyadari ini dan menyarankanku untuk menyumpal mulut dengan camilan.
Mau bagaimana lagi? Aku tidak pernah pandai bertarung seperti ini. Menurutku, lebih gampang kalau aku langsung meneriaki Randall bahwa dia tidak pantas mencari Ilyas sekarang setelah dulu menyia-nyiakannya di panti asuhan. Lalu, aku bisa mengayunkan pentungan ke mukanya. Harusnya sesederhana itu. Buat apa menahan amarah ke pria yang memang pantas untuk dipukuli massa?
Namun, yang lainnya merasa bahwa ini masih bisa diselesaikan dengan 'bicara baik-baik'. Bahkan Ilyas saja tidak mau aku memukul si Kepala Polisi, padahal pemuda itulah yang harusnya merasa paling kecewa.
Percakapan kami dengan kedua tamu tersebut rasanya seperti penyiksaan. Toren terus memancing dengan menunjukkan kecemasan yang terlihat sangat wajar sebagai penghuni kota ini. Dia menanyakan keadaan Batavia, alasan masuknya gelombang zombie, bagaimana penanganan yang dilakukan para polisi, lalu pada satu titik berhasil sampai ke pertanyaan yang kami tunggu-tunggu: "Sebenarnya penyakit macam apa ini? Apakah masih tidak ada obatnya? Tidakkah para polisi lelah mengarantina dan pada akhirnya membakar mati semua pasien terinfeksi?"
Randall terdiam sebentar. Tentu saja ini bukan pertanyaan biasa. Sudah puluhan tahun Nusa memperlakukan para zombie sebagai monster, bukan pasien. Meski kadang pertanyaan macam itu menghampiri benak orang-orang, pada akhirnya kami semua kembali terseret arus untuk memperlakukan semua zombie sebagai mayat hidup yang harus musnah agar hidup tetap berlanjut.
Lalu, seperti yang biasa dilakukan pihak otoritas lainnya, Randall berkelit, "Wabah ini memang tragedi yang mengerikan. Para polisi yang hanya manusia biasa tentu saja merasa penat—secara fisik dan emosional—diharuskan mengurus, mengarantina, dan mengeliminasi para zombie yang dulunya manusia pula. Belum lagi tindak kriminal yang dilakukan para manusia sehat—itu juga tanggung jawab kami. Tapi kami masih berusaha. Keadaan di luar sungguh berbahaya saat ini ... yang membuatku makin khawatir pada Ilyas dan adiknya. Jika mereka ada di luar sana, mereka takkan bertahan. Ke mana sebenarnya mereka pergi? Apa anak itu sungguh tidak meninggalkan petunjuk apa pun?"
Dan, begitulah, percakapan kembali berputar ke Ilyas. Tidak akan ada habisnya kecuali aku menendang tuan-tuan ini, dengan hormat, ke luar.
Omongan berputar-putar ini terulang beberapa kali. Toren dan Kamelia berhasil membawa topik penyakit zombie secara natural ke dalam obrolan, yang dengan halusnya ditepis Randall. Kue di piringku habis dan cangkir tehku kosong, jadi aku mulai senewen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escapade 1: A Lone Wayfarer
Mystery / ThrillerSudah empat tahun Ilyas tidak keluar rumah. Kini, pemuda itu terpaksa pergi ke dunia luar dengan Emma, adik kecilnya, dan Cal, seorang teman lama, untuk menyelamatkan diri mereka di tengah kiamat zombie. Namun, sepanjang jalan, sesosok zombie bernam...