|| 29: Ilyas's pov | 3917 words ||
"Absurd, 'kan?" tukas Toren. "Penyakit karena protein menular memang pernah ada, dan memang menyerang otak, tapi tidak mengubah orang jadi zombie. Makanya, menurutku—"
"Diamlah," potongku, lalu menatap Cal. "Lanjutkan, Cal."
Toren berdecak. Tangannya meraih rubik di atas nakas lagi. "Harusnya aku ikut mendengar saat orang itu bicara sama Cal. Aku yakin, aku bakal mengingat kata demi kata—"
Kurebut rubik itu dari tangannya dan menghantamkannya ke atas nakas. "Kalau begitu, kenapa kau diam saja di dalam seperti pengecut? Kenapa bukan kau yang keluar mengantar para tamu sampai ke mobil mereka? Kau takut digigit zombie? Kau kira Cal kebal zombie kalau dia digigit di depan pintu? Bahkan yang membuka pintu saat kami pertama tiba di sini adalah Kamelia, bukan kau."
Toren menggertakkan rahangnya. Tatapan matanya berubah nyalang. Dia berdiri dan menunduk menatapku. "Kau mau berkelahi? Kau kelihatannya benci sekali padaku sejak pertama tiba di sini. Bukan hanya kau yang pernah dipukuli oleh Ibu Raiva, tapi kau bersikap seolah jadi satu-satunya korban paling menderita. Haruskah kuingatkan kalau temanmu dulu cuma aku? Karena tidak ada yang mau berteman dengan pengecut cengeng yang menangis dan sembunyi setiap saat—"
Aku ikut berdiri dari kursiku. Kali ini, aku yang menunduk karena puncak kepala Toren bahkan tidak mencapai garis daguku. Dia hanya sedikit lebih tinggi dari Cal. Detik itu juga, aku mulai bertanya-tanya, bagaimana bisa dulu aku takut sekali padanya. Bagaimana bisa aku tidak pernah melawan saat dia mengerjaiku dan merebut barang-barangku. Bagaimana bisa aku diam saja saat dia memanggilku zombie Ilyas, jamur, anak yatim (di saat dirinya sendiri juga yatim-piatu), boncel, dan nama-nama ejekan lainnya.
"Kau bukan temanku," kataku tajam. "Dan sebagian besar pukulan yang kudapat memang salahmu karena kau yang mengadu pada Bu Raiva, menuduhku untuk semua kenakalan yang kau dan kawananmu lakukan."
"Kau keluar saja, deh," usul Cal pada Toren. Gadis itu duduk di kasur sambil melipat kedua lengannya di depan dada. "Bantu Kamelia membereskan sisa makan dan minuman para tamu tadi. Aku bisa menjelaskan sendiri ke Ilyas."
"Oke." Toren menggertakkan giginya, lalu berderap ke pintu dengan gusar. Dia hampir menabrak Joo yang masih berjalan mengelilingi lorong menidurkan Emma.
Aku kembali duduk ke kursiku. Suasana hatiku jadi bertambah buruk. Rasanya aku ingin segera angkat kaki dari tempat ini.
Kemudian Cal menarik kursiku mendekatinya, dan entah kenapa itu membuat pemberat imajiner di hatiku menghilang.
"Jadi," kata gadis itu semangat. "Katanya, wabah ini dari protein. Aku tidak paham, tapi aku yakin Randall bilang begitu. Protein spion itu apa?"
"Prion, Cal."
"Ya, itu!" Cal menepuk tangannya, lalu dia meninju bahuku. "Benar! Dia bilang itu! Apa itu?"
"Protein ...." Aku mengusap bahuku sambil merancang-rancang kalimat yang mudah diterimanya. "Sel tubuh semua manusia punya protein. Mereka mengikat oksigen, mengangkut nutrisi, menjaga keseimbangan cairan tubuhmu, bahkan membantu pembentukan antibodi untuk melawan penyakit yang masuk ke tubuhmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Escapade 1: A Lone Wayfarer
Misteri / ThrillerSudah empat tahun Ilyas tidak keluar rumah. Kini, pemuda itu terpaksa pergi ke dunia luar dengan Emma, adik kecilnya, dan Cal, seorang teman lama, untuk menyelamatkan diri mereka di tengah kiamat zombie. Namun, sepanjang jalan, sesosok zombie bernam...