|| 33: Ilyas's pov | 5058 words ||
Gedung itu adalah tempat pertama kali Bu Miriam melihatku.
Salah satu universitas di Batavia mengadakan pameran kesenian dan acara melukis bersama dengan anak-anak panti asuhan di sana. Rumah Kasih yang diurus Bu Raiva menjadi salah satu panti asuhan yang diundang untuk berpartisipasi. Bu Miriam datang sebagai pengunjung bersama salah satu rekannya yang seorang dosen.
Tidak banyak yang kulakukan saat pameran. Aku hanya ikut melukis satu kali dan badanku langsung tidak enak. Aku hampir mewarnai kanvasku dengan muntahan, jadi Bu Raiva buru-buru mendudukkanku ke pojok bersama para panitia. Dia menjejalkan rubik yang dibawanya dari panti ke tanganku agar aku tidak rewel.
Para panitia itu masih muda—barangkali mereka mahasiswa yang mengadakan acara tersebut. Jadi, mereka mengajakku bicara sesekali. Mereka menanyakan nama, umur, rubik di tanganku, atau kegiatan lain yang kusukai. Sebuah usaha untuk membuatku tidak merasa terkucilkan di antara orang-orang yang umurnya terpaut terlalu jauh dariku, tetapi itu membuatku tambah ingin muntah.
Salah satu mahasiswa itu meminjam rubik di tanganku dan berusaha menyelesaikannya. Dia bilang, dia punya pengalaman memecahkan rubik kubus 5x5, tetapi belum pernah mencoba rubik ghost.
Sepuluh menit kemudian, teman-temannya mulai bosan dan mengerjakan hal lain.
"Benda ini mustahil," tukas si mahasiswa seraya meletakkan rubik itu ke meja.
Sementara mereka teralih dengan tugas-tugas panitia, aku meraih kembali rubik itu. Butuh hampir setengah hari buatku, tetapi akhirnya aku menyelesaikannya.
Saat si mahasiswa kembali lagi untuk memberiku camilan, matanya membelalak melihat rubik ghost yang sudah selesai.
"Boleh kupinjam lagi?" tanyanya dengan bersemangat.
Begitu aku mengangguk, pemuda itu langsung pergi ke teman-temannya, yang sedang duduk dengan para dosen dan pengunjung lain—ada Bu Miriam di sana.
Si mahasiswa memamerkan rubik itu seolah dia yang telah menyelesaikannya. Lima menit kemudian dia langsung mengaku sambil terbahak bahwa akulah yang memecahkan rubik itu, tetapi teman-temannya tidak ada yang percaya.
Sebulan kemudian, Pak Gun datang ke panti asuhan untuk mengadopsiku.
Untunglah saat itu aku merasa sakit hingga Bu Raiva membiarkanku duduk di sana dan Bu Miriam bisa melihatku.
Syukurlah aku menyelesaikan rubik tersebut tepat tengah hari sebelum Bu Miriam pulang.
Aku tidak menyesal membiarkan mahasiswa itu memamerkan rubik yang kuselesaikan meski biasanya aku tidak menyukai orang lain menyentuh apa pun yang harusnya kepunyaanku.
Aku bersyukur mengikuti Pak Gun hari itu.
Aku beruntung bisa ikut pulang ke rumahnya dan Bu Miriam.
Jika tidak, aku pasti masih di sana—di dalam panti asuhan itu, terjebak dengan Bu Raiva dan anak-anak tanpa orang tua lainnya yang akan terus berdatangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escapade 1: A Lone Wayfarer
Mystery / ThrillerSudah empat tahun Ilyas tidak keluar rumah. Kini, pemuda itu terpaksa pergi ke dunia luar dengan Emma, adik kecilnya, dan Cal, seorang teman lama, untuk menyelamatkan diri mereka di tengah kiamat zombie. Namun, sepanjang jalan, sesosok zombie bernam...