2. Cal dan Rumah Barunya

5.6K 1.2K 437
                                    

|| 2: Cal's pov | 2980 words ||

Aku anak pertama yang melihat lubang di tembok itu, tetapi Ifan yang pertama mengumumkan, "Masuk ke sini, yok!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku anak pertama yang melihat lubang di tembok itu, tetapi Ifan yang pertama mengumumkan, "Masuk ke sini, yok!"

Yang lain menyahut, "Ayok!"

Sekumpulan anak berumur 8 tahun tidak tahu apa-apa, tetapi aku tahu. Di sisi lain tembok ini adalah Neraka. Ibuku sering menceritakan kengerian yang terjadi berdekade lalu saat Nusa masih belum dilindungi tembok: makhluk pemakan otak, gigi-giginya setajam taring harimau, kukunya seruncing cakar beruang, dan gigitannya beracun. Kuceritakan apa yang ibuku ceritakan, lalu aku ditertawakan.

"Zombie itu nggak ada!" Ifan menukas. "Kakakku bilang, itu cuma akal-akalan orang dewasa supaya kita nggak main jauh-jauh atau pulang kemalaman."

"Kakakmu, 'kan, di penjara gara-gara berbuat jahat." Aku mengingatkannya.

"Kakakku cuma dimarahi Bapak Polisi itu, nggak dibawa ke penjara!" Wajah cowok itu memerah marah. "Dan lagi kakakku nggak jahat! Dia cuma main petasan, petasannya nyasar ke rumah orang—itu aja!"

"Petasannya yang salah." Dwira mengangguk-angguk menyetujui. "Kalau kamu nggak suka main sama kami, Cal, main sendiri saja! Sana!"

Segerombolan anak itu, yang Ibu bilang adalah teman-temanku walau aku tidak merasa demikian, mulai berebut untuk menjejalkan diri ke dalam lubang di tembok W. Mereka saling dorong dan tarik, tetapi lubang itu masih terlalu kecil untuk dilalui, bahkan oleh Vivi yang badannya paling kecil di antara kami.

"Cal! Gedein lubangnya dong!" tuntut Vivi.

Aku mengerjap. "Caranya?"

"Pukul, tendang, atau apalah! Kamu, 'kan, kuat!"

Dipuji begitu, aku jadi melupakan cerita Ibu tentang zombie atau fakta bahwa anak-anak itu sempat menyuruhku main sendiri. Aku mendekati lubang, mengeruk dan menggali semennya yang keropos dengan tangan, menggedornya pakai lutut dan mengoreknya dengan ujung sepatu.

Lubangnya membesar sedikit, cukup untuk kepala Vivi, tetapi kemudian aku melihat kelebatan bayangan di baliknya.

Ada sesuatu yang bergerak di balik tembok.

"Anak-anak nakal!" Serge—seorang pria tua yang rumahnya berdempetan dengan tembok W—berteriak dari jendela lantai atas rumahnya.

Pria itu veteran perang. Perang apa, aku tak tahu. Sebelah matanya picak, satu kakinya pengkor, dan satu tangannya kutung sampai pergelangan. Walau demikian, pria itu bisa lari pincang dengan cepat, lemparannya jitu, dan dia bisa mengenali wajah anak-anak bandel dari jarak jauh. Dia adalah mimpi buruk di wilayah kami.

Barang-barang melayang keluar dari jendela Serge: mangkuk plastik berisi air ludahnya, tongkat kayu, dan sendok sayur beterbangan ke arah kami. Bidikannya hebat sekali. Mangkuk peludahannya mendarat jadi topi di atas kepala Ifan.

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang