20. Cal dan Zarah

2.8K 846 356
                                    

|| 20: Cal's pov | 4108 words ||

Semua senjata dan sedan yang kami bawa dari Renjani terlalu berharga untuk ditinggal, tetapi kami tidak punya pilihan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semua senjata dan sedan yang kami bawa dari Renjani terlalu berharga untuk ditinggal, tetapi kami tidak punya pilihan. Kami mesti meninggalkan semuanya dan jalan kaki ke distrik selanjutnya. Sementara Ilyas memilah apa saja yang mesti dibawa dari mobil, aku menggendong Emma sambil mengawasi zombie Joo.

"Cal," kata Ilyas dengan setengah badannya masih berada dalam mobil, "apa menurutmu zombie tipe 4 bisa lelah juga?"

"Tidak tahu, Ilyas. Selama ini aku hanya mendengar tentang tipe 4 dari mulut Serge. Tipe 4 yang kubunuh di rumahmu itu adalah tipe 4 pertama yang kulihat."

Zombie tidak bisa merasa lelah atau sakit, bahkan tipe 4 yang responsif pun masih tidak cukup responsif untuk dibilang 'merasa'. Mereka bisa saja kehilangan tangan, jantung mencuat keluar, kaki hilang, dan usus diseret-seret di jalan, tetapi masih kuat jalan-jalan di kota mencari otak. Namun, untuk saat ini cuma dugaan Ilyas yang masuk akal untuk diterapkan ke zombie Joo/Zohrah.

Zombie Joo masih duduk di tengah jalan. Darahnya keluar banyak sekali—aku habis menggilasnya tadi siang dan sekarang tubuhnya tersayat-sayat pecahan kaca belakang sedan. Manusia biasa pasti sudah mati. Namun, itu salahnya sendiri. Buat apa juga dia mencoblos kaca belakang pakai badannya? Ilyas juga jadi kerepotan memilah barang karena pecahan kaca di jok belakang.

Ilyas baru saja keluar ketika zombie Joo mendadak ambruk. Kami berhenti dan menatap Joo Bistik penuh antisipasi.

Zombie itu tengkurap di tengah jalan dan tidak bangun-bangun. Dia terlihat seperti korban tabrak lari sungguhan—kecuali fakta bahwa kakinya berkedut. Mayat keras kepala itu masih hidup.

"Kesempatan," kata Ilyas seraya menutup pintu mobil.

Ilyas menurunkan semua ransel kami, denah menuju Batavia, pentunganku, selembar foto, dan alat pengecek darah bersama kotak jarumnya. Sepucuk pistol dan beberapa pak amunisi tersimpan di saku shoulder holster di badanku.

"Nih," kata pemuda itu seraya mengoper ranselku, pentungan, dan selembar foto.

Kupandangi foto yang diberikannya. "Ini bukan punyaku."

Ilyas balas menatapku dengan bingung. "Tapi itu juga bukan punyaku. Ada di jok belakang, jadi kupikir ...."

Kami mengamati foto tersebut. Ia dilaminating sehingga gambarnya tidak dimakan usia, tetapi jahitannya sudah hampir lepas dan plastiknya sudah rusak dan terlipat-lipat. Noda kecokelatan di sekitarnya berbau anyir, yang kemudian kusadari itu bekas darah. Buru-buru kujatuhkan foto itu, yang malah dipungut Ilyas pakai saputangan. Kulap jari tanganku ke celana.

Ilyas mencopot plastik laminatingnya sampai kami bisa melihat dengan lebih jelas sebuah potret sepasang muda-mudi yang saling rangkul. Si pemudi menggendong seorang bayi perempuan. Kataku, "Kau yakin ini bukan punyamu? Anak ini Emma, 'kan?"

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang