32. Cal dan Jalur Baru

654 159 161
                                    

|| 32: Cal's pov | 6997 words ||

"Luar biasa, kau masih hidup, wanita pemabuk!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Luar biasa, kau masih hidup, wanita pemabuk!"

"Harusnya itu kata-kataku, kau bocah bawa sial!"

"Terakhir kuingat, kau terinfeksi!"

"Sudah kubilang itu luka lain dan bukan gigitan zombie, tapi berkat kalian bocah-bocah rewel aku dikarantina berminggu-minggu dan dipaksa mendaftar jadi PN!"

"Lucu sekali preman tukang mabuk jadi PN!"

"Maaf, ya, kalau tinggi badanku memenuhi syarat masuk PN sementara kau terjebak jadi kurir!"

"Kurir dua kali lipat lebih berguna daripada kalian para polisi!"

"Yeah, dan apa yang kalian dapat dari sana? Gaji dan tunjangan kalian hanya setengah dari pendapatanku per bulan!"

"Pendapatan yang langsung hilang setengahnya buat beli miras dan sisanya terpakai untuk membayar kurir yang mengerjakan tugas kalian, maksudmu?"

Dia menarik kerah seragam kurirku dan mencoba membantingku, jadi aku memeluk pinggulnya dengan kedua kakiku hingga perempuan itu merosot menghantam lantai lebih dulu. Batonku menghantam bawah dagunya dan ujung runcing gagang kayu yang dia pegangi menggoresku di atas alis kanan.

Sebelum kami sempat membunuh satu sama lain, Ilyas menarikku dari atas Ginna sementara Ahmed menarik perempuan itu menjauhi kami.

"Bisakah kau lihat situasi macam apa yang sedang kita hadapi sekarang?" bentak Ahmed seraya menggaplok kepala Ginna.

Aku mencoba menggeliat keluar dari kurungan tangan Ilyas, jadi pemuda itu menjentikku tepat di samping luka yang baru kudapat di jidat. "Cal, hentikan!"

Ginna menendang-nendang dan berusaha memberontak keluar juga dari pegangan Ahmed. Saat itulah aku melihat sebelah sepatunya tidak terpasang dengan benar, jadi aku menunduk tepat waktu saat alas kaki kanan Ginna terlepas dan meloncat ke arah wajahku.

Ilyas tidak menunduk.

Sepatu itu menghantam sisi kiri wajahnya, meninggalkan bekas kemerahan di bawah mata. Padahal dia habis kena serangan panik di dekat jalan tol, ditendangi di kepala oleh polisi yang membawa kami, dan sekarang kena tampol sepatu di muka.

Ilyas membeku syok, lalu rahangnya mengencang jengkel. Aku sendiri langsung terdiam, begitu pula Ginna. Ahmed hanya bisa membuka mulutnya hingga rokoknya jatuh ke lantai.

Lalu, Ilyas melepaskanku. Tangannya tertadah ke arah Ginna seperti mempersilakanku melakukan apa pun yang kumau.

"Tunggu—i, ini bukan saatnya ...." Ahmed tidak bisa menyelesaikan omong kosongnya karena aku keburu menyepak tongkat senjata Ginna sampai mental, lalu mengayun baton di tanganku. Ahmed tidak punya pilihan selain melepaskan Ginna kalau dia tidak mau kena.

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang