15. Ilyas dan Rencana

4.6K 1K 325
                                    

|| 15: Ilyas's pov | 3319 words ||

|| 15: Ilyas's pov | 3319 words ||

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa hari seharusnya cukup. Aku menambah barikade pada jendela dan pintu, menutupi perabot dengan koran agar tidak berdebu, lalu memesan jebakan zombie tambahan untuk jendela. Namun, beberapa hari itu tidak berjalan terlalu baik. Cal masih ada. Dia beberapa kali mengkritisi usahaku untuk memapan semua jendela.

"Kau, 'kan, tidak bakal tinggal di sini lagi! Buat apa melakukan ini semua?!"

Lalu, setelah berbicara macam-macam, Cal mendadak diam. Diam yang dipaksakan. Tidak sekali dua kali aku melihatnya mengepalkan tangan dan menggigit bibir ke dalam seperti sedang menahan diri. Jujur saja, itu mengusikku.

"Bukankah sudah beberapa kali kau bilang kau akan pulang?" tanyaku pada Cal. Di depan televisi, Emma duduk sambil mengobok-obok telur dadar di piringnya.

"Setelah yang kau coba lakukan tempo hari? Tidak, aku akan menunggumu sampai kau mau ikut denganku keluar dari sini."

Dia memberikan secangkir teh padaku. Padahal baru beberapa detik yang lalu gadis ini mencoba menghentikan pekerjaanku, tetapi tindakanya sekarang—membuatkan teh, memegangi papan—seperti menyemangatiku. Inkonsistensinya benar-benar menggangguku.

"Kau juga tidak bisa mengusirku—akui saja, aku cukup banyak membantumu di sini." Dia menyengir. "Tenang saja. Aku akan menjadi sangat tenang dan kalem sampai-sampai kau takkan menyadariku di sini."

"Panci burik ini betul-betul cari perkara denganku!" Cal langsung mengingkari janjinya beberapa menit kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Panci burik ini betul-betul cari perkara denganku!" Cal langsung mengingkari janjinya beberapa menit kemudian.

Emma tidak mau makan pagi itu. Perutnya bermasalah, membuatnya tak nyaman dan merengek seharian. Emma hanya memainkan makanannya di piring, buang angin, lalu membuat popoknya penuh. Kusuruh Cal menjaga bubur di panci karena Emma tidak bisa dilepas, tetapi gadis itu terus mengkritisi caraku mengurus Emma.

"Anak 4 tahun harusnya sudah lepas dari popok!" Cal berkomentar, membuatku sakit kepala. "Aku saja tidak pernah pakai popok—ibuku memakaikanku kain yang mesti dicuci tiap hari. Umur dua tahun, aku sudah bisa pakai jamban sendiri!"

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang