21. Ilyas dan Batavia

3K 830 379
                                    

|| 21: Ilyas's pov | 5409 words ||

Aku tidak pernah menyia-nyiakan peluang seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak pernah menyia-nyiakan peluang seperti ini. Padahal, aku bisa meninggalkan Cal detik itu juga dan pulang ke Renjani.

Aku sudah mengingat peta menuju Batavia dan denah kotanya. Aku sudah menelepon Randall Duma untuk mengonfirmasi di mana kami bisa bertemu. Sang Kepala Polisi bahkan sudah memiliki beberapa nama keluarga di berbagai wilayah aman yang bisa kupilih sebagai keluarga baru Emma. Dia sudah menyiapkan transportasi udara yang Cal inginkan berikut dengan pilotnya—bahkan dia menyanggupi saat kubilang, Cal punya permintaan gila untuk melakukan penerbangan ke luar Tembok W.

Cal pingsan sampai empat hari karena kehilangan banyak sekali darah. Empat hari itu lebih dari cukup bagiku untuk memanggil kurir atau PN dan bertolak ke tempat Randall. Aku bisa meninggalkan pesan di sebelah Cal, atau menitipkan surat kepada perawat rumah sakit, bahwa transportasi udara yang diinginkannya sudah siap dan dia tak perlu lagi menabung dengan bekerja sebagai kurir.

Namun, kudapati diriku membalut luka di tanganku, menelepon Randall dan memintanya menunda pertemuan kami, lalu duduk di samping brankar Cal, menunggu sampai gadis itu sadar. Aku membuang satu-satunya kesempatan sempurna untuk pulang ke Renjani.

Aku tidak bisa tidur. Aku malas makan. Aku bisa saja menunggu Cal sadar di kamar penginapan karena aku benci rumah sakit. Namun, kudapati diriku membereskan barang-barang kami dari penginapan dan bermalam di kamar inap Cal. Aku tidak bisa melepaskan mataku darinya.

Aku marah-marah saat PN memintai keterangan tentang penyergapan itu. Seharusnya aku tidak perlu sampai membentak, tetapi kemudian aku mengingat darah Cal di tanganku, tiap bilur dan memar di wajahnya, bibirnya yang memutih, kedua tangannya yang gemetaran mendekap Emma—terutama, aku tersadar bahwa itu pertama kalinya aku melihat Cal menangis. Lalu, aku kembali menggebrak meja kantor polisi, hampir membaliknya, mengkritisi lambannya petugas patroli dan bagaimana bisa Distrik Arum punya keamanan sejelek ini. Aku begitu marah sampai menginginkan semua orang dihukum, termasuk petugas lembaga pengungsi yang menyita senjata Cal. Seharusnya aku tidak menghentikan gadis itu saat dia berusaha mendapatkan kembali pistolnya.

Aku mulai yakin bahwa akal sehatku pasti sudah hilang saat aku mulai mengobrol dengan si zombie.

Pada mulanya, Joo berdiam diri di balik bayang-bayang sebuah pohon besar dekat parkiran rumah sakit. Dia masih mengawasi kami, tidak pergi, tidak pula masuk. Lalu, beberapa orang mulai menyadari kehadirannya. Aku mulai mendengar para perawat bergosip.

"Ada pria aneh di bawah pohon."

"Mungkin hanya orang gila. Coba kau yang cek."

"Kau saja."

Kalau mereka memanggil PN, dan patroli menyambangi Joo, lalu menyadari ia zombie ... pasti akan ada keributan. Ini rumah sakit, tetapi aku ragu Joo akan memahami itu. Ada kemungkinan dia akan mengamuk dan mengganas mendadak.

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang