5. Ilyas dan Konspirasi

4.3K 1.1K 432
                                    

|| 5: Ilyas's pov | 3978 words ||

Nenek Aya membiarkanku tinggal di rumahnya sampai senja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nenek Aya membiarkanku tinggal di rumahnya sampai senja.

Tubuhnya yang kurus dan bungkuk dibungkus kardigan tua. Aroma minyak kayu putih menguar darinya, membuatku jauh lebih tenang setelah aku meminjam toiletnya selama kurang lebih 20 menit untuk mengeluarkan isi perut karena syok.

Sementara si nenek mengoceh, terbatuk-batuk, dan menyeduh teh, aku berjalan mengitari meja makannya sambil menimang-nimang Emma yang rewel.

"—kejadiannya tahun 2126." Nenek Aya bercerita tentang sesuatu, yang kurang jelas terdengar olehku. "Lubangnya ditambal hari itu juga dan warga desa tidak tidur tenang selama sebulan. Pernah juga di tahun 2136 dan 2146—"

Sambil masih menggendong Emma, kubuntuti Nenek Aya ke dapur agar aku bisa mendengarnya lebih jelas. Dia menenteng-nenteng sendok dan piring kecil, bolak-balik ke lemari dan meja, mengambil barang-barang yang selalu dia lupakan.

Kuamat-amati tiap jendela dengan jantung berdebar, tetapi kecemasanku tidak beralasan. Semua jendela di sini punya terali dengan celah yang mustahil dilalui anak sekecilku sekali pun, dan kuncinya begitu rapat, berbeda dengan jendela dapur di rumah kami yang teralinya sudah lepas dan belum sempat dipasang kembali. Bahkan pintu belakang pun dipasangi terali dan digembok dua kali.

"—tapi tembok itu kuatnya bukan main. Sudah 70 tahun ia berdiri, keropos saja tidak, padahal diterjang badai tiap musim hujan dan dilanda gempa tahun 2154."

"Jadi, kenapa lubang-lubang itu muncul?" tanyaku. Emma bersin di depan wajahku, lalu menangis lagi. "Kalau temboknya sekuat itu, bagaimana lubang-lubangnya terbentuk? Maaf, Anda punya tisu? Adikku beringus—terima kasih."

"Ada yang membuat lubang itu. Nah, di mana tadi aku taruh sendok tehnya?"

"Sendoknya sedang Anda pegangi."

"Ah, ya." Nenek Aya mulai mengaduk. Matanya menyipit memerhatikan gelas. "Kuharap kau tidak masalah dengan teh yang agak kemanisan. Aku tidak bisa melihat gula yang kutuang."

Aku masih menggosok-gosok hidung Emma saat gelas teh diletakkan ke meja. "Tidak masalah. Jadi, lubangnya?"

Nenek Aya menyeruput teh sampai berbunyi, lalu mengangkat wajahnya dari gelas. "Lubang apa?"

"Lubang tembok."

"Tembok rumahku berlubang?"

"Tidak. Bukan. Kita sedang membicarakan Tembok W, ingat?"

"Ah, ya, betul. Tembok W pernah berlubang beberapa kali. Kejadiannya tahun 2126. Di kampung halamanku di Distrik Barat daerah pertambangan. Hari itu juga setelah ditemukan, lubangnya segera ditambal, dan warga desa tidak tidur tenang selama sebulan—"

"Iya, tadi Nenek sudah bilang itu," kataku. Kubenarkan posisi Emma saat dia sudah mulai tenang. Mungkin aroma Nenek Aya juga membuatnya lebih nyaman. Namun, tetap saja aku tidak bisa mendekatkan Emma kepada si nenek karena Nenek Aya sedang sakit. "Jadi, tadi Anda bilang lubangnya dibuat? Oleh siapa?"

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang