6. Cal dan Konstipasi

4K 1.1K 389
                                    

|| 6: Cal's pov | 3391 words ||

Rumah Inar memang kosong—Pak Radi dan aku memeriksa sepenjuru ruangan, tetapi satu-satunya zombie yang kami temukan hanya kecoak tanpa kepala yang langsung kehilangan nyawa begitu tumitku tak sengaja memencetnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah Inar memang kosong—Pak Radi dan aku memeriksa sepenjuru ruangan, tetapi satu-satunya zombie yang kami temukan hanya kecoak tanpa kepala yang langsung kehilangan nyawa begitu tumitku tak sengaja memencetnya.

Kukumpulkan barang-barang tumpul milik Inar untuk dijadikan senjata—galon air yang sudah kosong, payung, vas bunga dari plastik, dan tempat sampah kecil. Benda-benda yang kira-kira bisa diayunkan untuk memukul dan dijadikan pelindung. Mataku sempat mempertimbangkan gunting di atas meja, tetapi kurasa itu ide buruk. Para zombie tidak merasakan sakit, justru kami yang sakit lambung menyaksikan darah mereka muncrat-muncrat.

Pak Radi menutupi jendela depan dengan kertas koran agar tidak ada zombie yang bisa iseng mengintip ke dalam. Pria itu menyisakan lubang di pojok koran dan mengintip keluar lewat sana.

"Kita tunggu sepuluh menit," katanya. "Kalau sampai saat itu tidak ada zombie lewat, aku akan keluar mencarikan ibumu. Tapi, kau tetap di sini."

Untuk sesaat, perutku mulas karena rasa takut. Gambaran diriku sendirian di dalam rumah seseorang yang sekarang sudah jadi zombie membuatku berkeringat dingin. Namun, di satu sisi, aku juga pingin bertemu ibuku.

"Apa yang kalian lakukan ke Inar?" tanyaku, masih memeluk galon kosong.

"Kami menjatuhkannya dari lantai empat," jawab Pak Radi tanpa menatapku. "Tapi setelahnya pun dia masih hidup. Jadi, kami langung turun mengejarnya dan memotong ... nah, kau tidak perlu tahu detailnya."

"Tidak apa-apa. Aku sudah pernah melihat film-film dokumenter itu, versi yang tanpa sensor—jangan bilang-bilang ibuku, ya." Kubenarkan posisi dudukku dengan gelisah. "Jadi, kalian memotong kepalanya saja? Aku pernah lihat di film Tragedi Desa Kusuma—desa di kaki gunung yang setengah penduduknya terinfeksi—tim ekspedisi pertama yang dikirim sudah memenggal kepala para zombie-nya, tapi beberapanya ternyata masih bergerak. Mereka akhirnya membakarnya."

Pak Radi melirikku dari sudut matanya, lalu kembali mengintip dari celah koran. "Kuadukan pada ibumu."

Aku berpura-pura tak mendengarnya. "Kalau tidak salah, jangka waktu sampai gejalanya muncul lumayan lama, 'kan? Beberapa jam? Waktu menonton film atau mendengar ceritanya, sih, tidak apa-apa. Tapi, tidak kusangka melihatnya langsung bakal semenakutkan ini."

Pak Radi akhirnya menoleh. "Kau tidak tampak takut sama sekali, Bocah!"

"Takut, kok," tukasku. "Bapak pikir, buat apa aku duduk melipat kaki begini? Biasanya aku duduk mengangkang. Masalahnya, aku tidak bisa berhenti gemetaran dari tadi. Perutku mulas. Ketakutan selalu bikin aku pingin pup dan susah pup di saat bersamaan."

Wajah Pak Radi berkedut seperti hendak tertawa, tetapi batal karena dia mungkin merasa rengutan lebih pantas untuk dikeluarkan. Pria itu lantas meraih kembali pentungannya, melilit sarung kotak-kotaknya ke sepanjang lengan sebagai perlindungan, lalu memakai sepatu bot milik Inar yang kekecilan.

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang