|| 23: Ilyas's pov | 4877 words ||
Setelah satu jam berlalu, jalanan tidak lagi penuh sesak oleh pawai orang mati dan gerbang pun lengang. Begitu kubilang kami bisa jalan, Cal tidak buang waktu. Dia langsung meluncur, melindas zombie pertama yang kami temui di depan gerbang, lalu menabrak satu lagi mayat hidup yang tengah menyeberangi jalan. Aku melirik ke belakang, tetapi Joo tampak tak peduli kaumnya jadi korban tabrak lari Cal.
Ada beberapa orang terinfeksi duduk-duduk di trotoar yang basah setelah hujan berhenti, sebagian besarnya personel PN. Meski radio telah menurunkan perintah untuk mundur dan mengganti shift pasukan patroli, mereka tak mengacuhkannya.
Para polisi itu hanya menongkrong di jalan, menunggu putusan nasib, membereskan beberapa zombie yang tersisa dengan tampang bosan. Beberapanya berbicara ke radio komunikasi sambil berurai air mata, barangkali menyampaikan wasiat pada rekannya. Yang lain mulai menyelonong ke toko yang kosong, bersenang-senang sebelum waktu mereka habis.
Masih ada lima jam sebelum mereka berubah jadi zombie. Lima jam untuk membuat keputusan—antara memasukkan moncong pistol itu ke mulut atau menembaki satu sama lain. Yang jelas, berubah menjadi mayat hidup sama sekali bukan pilihan bagi PN—mereka dituntut mencegah penyebaran infeksi dengan cara apa pun. Keluarga inti mereka—orang tua, istri, suami, anak—mendapat asuransi dan dibiayai negara, dan keistimewaan ini juga menjadikan mereka sandera. Jika seorang personel PN terbukti melalaikan tugas dan membiarkan dirinya berubah menjadi mayat hidup, bantuan terhadap keluarganya akan dicabut.
Kami membelah kegelapan dan kesunyian. Gemerlap cahaya ibukota sudah hilang. Mayat hidup yang masih keliaran di jalan mencoba mengejar sedan, tetapi tidak cukup cepat untuk balapan dengan Cal. Sesekali kami melewati petugas patroli yang masih berjaga, yang berburu dengan anjing-anjing pelacak, atau yang membakar jasad korban terinfeksi di emperan jalan. Tidak ada yang menyetop kami, tetapi mereka mencatat plat semua kendaraan yang lewat.
Kuamati tiap sudut jalan dengan resah. Apakah suara mesin mobil tidak terlalu keras? Tidakkah Cal menyalakan lampu depan terlalu terang? Jika ada satu atau dua zombie tipe 3 di sini, mudah sekali bagi mereka untuk melompat ke tengah jalan dan menghadang kami, menaiki bumper depan, lalu memecahkan kaca, kemudian menerobos masuk ke dalam—
"Ilyas?"
Aku mengerjap dan menoleh ke arah Cal. Gadis itu tengah melirik tanganku dengan cemas. Saat itulah aku tersadar tanganku mengepal terlalu keras. Kuku-kuku jariku menghujam ke dalam dan kedua telapak tanganku berdarah.
Kuambil tisu di atas dasbor dan menggenggamnya sampai darahku terserap. Cal sendiri tidak bertanya lagi, tetapi bisa kurasakan lirikan matanya sesekali.
Emma melanjutkan tidurnya di pangkuanku, tangannya masih memegangi lencana polisi Randall dengan keras kepala. Hidungnya merah karena pileknya tambah parah—dia sudah terlalu lama di perjalanan. Aku harus segera mengantarnya ke rumah barunya ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Escapade 1: A Lone Wayfarer
Mystery / ThrillerSudah empat tahun Ilyas tidak keluar rumah. Kini, pemuda itu terpaksa pergi ke dunia luar dengan Emma, adik kecilnya, dan Cal, seorang teman lama, untuk menyelamatkan diri mereka di tengah kiamat zombie. Namun, sepanjang jalan, sesosok zombie bernam...