|| 7: Ilyas's pov | 3967 words ||
Tak lebih dua minggu yang lalu Bu Miriam pergi, kami menguburkannya di halaman belakang rumah di malam tahun baru, tetapi aku tidak bisa berkabung lama-lama. Tiap kali aku tidur lebih lama di atas ranjang, berselimut sambil terisak-isak, Emma akan menangis lebih keras.
Sudah empat tetangga yang menawarkan diri untuk memanggil petugas sosial atau memasukkan kami ke panti asuhan sejak Bu Miriam tiada. Aku selalu menolak—aku tahu rasanya masuk panti. Aku akan bertemu dengan Bu Raiva lainnya di panti mana pun, dan aku takut aku tidak akan diadopsi sepaket dengan Emma—kami bukan saudara kandung.
Lagi pula, kami masih punya Nenek Aya. Si nenek kini tinggal sendirian. Anaknya yang masih bujangan tidak ada kabarnya lagi sejak serangan zombie hari itu. Kini beliau hidup sendiri, bertahan sehari-hari dengan jatah dari pensiunan mendiang suaminya yang selalu dikirim oleh pos tiap bulan.
Ada semacam hubungan mutualisme di antara kami—aku mengurus si nenek di hari tuanya dan (terutama) mengatur kadar gula di makanan/minumannya; sedangkan Nenek Aya membiayai kebutuhan sehari-hariku dan Emma. Aku mulai terbiasa dengan ocehan melanturnya, dan para tetangga memaklumi hubungan ini.
Sejak serangan zombie terjadi, krisis nasional berlangsung. Karantina di rumah dan jam malam diperpanjang sampai batas waktu tak menentu, tenda-tenda militer didirikan di semua ruas jalan, angkutan umum dilarang beroperasi, dan hampir semua kegiatan jual-beli harus dilakukan melalui organisasi kurir yang disetujui pemerintah.
Rumah demi rumah mulai membangun pelindungnya masing-masing—pagar tinggi, jebakan-jebakan di halaman, palang pintu. Sudah tidak sedikit orang-orang yang menyimpan senjata api dalam rumah. Saluran televisi dan radio pun mulai berkurang, tetapi berita penyerbuan zombie masih tersebar. Beberapa perkampungan telah lumpuh total.
"Tempat teraman adalah perbatasan," kata Nenek Aya saat aku mengunjunginya suatu siang. Di kursi goyangnya, dia memangku Emma. Sementara aku membuatkan teh untuknya. "Dalam keadaan seperti ini, zombie-zombie itu akan mendatangi tempat yang ramai oleh manusia—iya, 'kan, Nak?"
Aku menaruh cangkir teh di atas meja di samping kursinya. "Nenek, Anda ingin aku memesankan sup seperti kemarin atau bubur saja?"
"Ya, nasi sudah menjadi bubur. Yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan. Kita bisa mengurung diri dalam rumah, atau lari ke perbatasan seperti kataku tadi."
"Bubur, kalau begitu." Aku menelepon. Sejak sebulan yang lalu, bisnis jasa kurir jadi berkembang pesat. Orang-orang takut keluar rumah, maka mereka memesan segalanya lewat telepon.
Para kurir kini jadi semacam kelompok eksklusif karena mereka mendaftar untuk pekerjaan yang secara harfiah menggantungkan nyawa mereka. Mereka diberi izin untuk membawa senjata, mendapat subsidi besar untuk kendaraan dan seragam khusus, kadang mendapat pengawalan langsung dari personel militer saat bertugas, dan tak jarang pula personel militer sendiri yang merangkap jadi kurir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escapade 1: A Lone Wayfarer
Mystery / ThrillerSudah empat tahun Ilyas tidak keluar rumah. Kini, pemuda itu terpaksa pergi ke dunia luar dengan Emma, adik kecilnya, dan Cal, seorang teman lama, untuk menyelamatkan diri mereka di tengah kiamat zombie. Namun, sepanjang jalan, sesosok zombie bernam...