Pelukan.....

58 2 0
                                    

"Asha...."

Bias-bias cahaya matahari mulai masuk melalui celah-celah ventilasi jendela kamarku, sepoi-sepoi angin membuat tirai kamar bergoyang dan menimbulkan suara gemerincing lonceng kecil yang kusangkutkan disisi jendela. Entah kenapa aku selalu bahagia dengan situasi seperti ini. Pagi menyapaku dengan hangatnya dan angin bertiup membentuk suara indah, berpadu dengan gemerincing lonceng seakan berbisik, Asha...semua akan baik-baik saja.

Perlahan kubuka mataku dan sedikit mengerjapnya. Kupijit kepalaku dengan tangan kiri karena rasanya sedikit pusing. Tak lama sesudahnya aka bangun dari tidur dan berencana pergi kekamar mandi ketika mataku menangkap sesuatu yang tak pernah ada dikamarku sebelumnya. Seorang pria sedang tidur disofa ku, dan aku tak mengenalinya karena dia menghadap kepunggung sofa. Seketika aku ingin berteriak tapi segera kututup mulutku dengan tangan. Mengeluarkan suara hanya akan membangunkannya dan bisa saja ia berbuat jahat padaku.

Aku berjalan perlahan menuju lemari pakaian, meraba-raba sesuatu dibelakangnya, dan berhasil ! Aku menemukan stik golf yang sudah lama tak terpakai. Aku bersiap memukul orang tak dikenal yang mencoba masuk bahkan tidur dikamarku ini. Belum sempat membalik badan, suara beratnya mengejutkanku..

"Sedang apa disitu nona,, bukannya kekamar mandi untuk mencuci muka, malah membongkar-bongkar lemari.., kau mau memukulku dengan stik golf itu...?"

Sontak aku langsung berdiri dan mendapati laki-laki itu ternyata Dannis. Aku dilanda kebingungan, apa yang sebenarnya sudah terjadi sehingga laki-laki ini bisa berada dikamarku.

"Lupa kejadian tadi malam, atau pura-pura lupa..?" Lanjutnya kemudian berlalu menuju kekamar mandi. Aku yang masih kebingungan memutuskan pergi keluar dari kamar, aku tak mau terperangkap dengan laki-laki itu, karena tubuhku pasti bereaksi. Pergi menuju dapur, membuka pintu kulikas untuk meneguk segelas air putih, kemudian mengambil sigaret dari dalam laci meja.

Aku menghirup sigaret dalam-dalam sambil mengingat kembali kejadian tadi malam. Apa hal yang membuat CEO sampai menginap dirumahku. Tak lama berfikir, akhirnya aku ingat kalau tadi malam kami  menghadiri gathering perusahaan Arvan, kemudian aku pamit pulang lebih awal kepada Dannis, tapi sepertinya dia tidak terima dan mengejarku sampai ke dalam lift, aku dan dia terkurung di lift, kemudian....

Aku memijit kepalaku,, rasanya sangat menyakitkan peristiwa itu. Aku menarik kesimpulan, trauma menyerang lagi dan aku pingsan. Dan oh Tuhan,, aku baru menyadari kalau aku sudah berganti pakaian menggunakan baju tidur. Shit..., apa dia juga yang mengganti pakaianku..

Laki-laki itu sudah terlalu jauh masuk kedalam kehidupanku dan mengetahui semuanya.
_________

"Dannis"

Aku keluar dari kamar mandi setelah membasuh muka dan gigi. Mendapati Asha tak ada dikamarnya, aku yakin gadis itu pasti menghindariku. Trauma itu kurasa menghantuinya. Terkurung bersama seseorang ditempat sempit membuatnya ketakutan, begitu yang dapat kusimpulkan. Aku keluar dari kamar dan langsung menuju dapur untuk membuat sarapan. Melihatnya duduk ditepi jendela sambil menghisap sigaret, dengan segelas air putih yang hampir tandas, aku yakin dia belum makan apa-apa. Apa begini gadis ini setiap hari..? Entahlah, yang jelas pagi ini aku pergi menuju dapur untuk membuat sesuatu yang bisa dimakan. Dikulkas aku tak menemukan bahan-bahan untuk bisa dimasak, tapi menemukan begitu banyak varian buah-buahan. Aku mendesah lega setelah menyimpulkan kalau si empunya rumah adalah penyuka buah-buahan. *btw, kenapa aku lega....

"Bagaimana, sudah ingat semuanya...?" Kataku sambil mengambil segelas air hangat di dispenser dan sepiring potongan buah apel dan membawanya kemeja kecil disamping Asha.  Aku memilih duduk disofa depan tv alih-alih duduk di kursi kosong disampingnya.  Sengaja mengambil jarak yang cukup agar ia merasa nyaman. Ia terlihat menghisap sigaretnya dalam-dalam dan ia cukup tenang.

"Hm" angguknya. "Aku sudah mengingat semuanya..., dan maaf sudah merepotkanmu.." jawabnya dingin tanpa menoleh. Matanya lebih memandang keluar jendela yang menampilkan susana pagi yang cerah.

Aku dapat menangkap bulir-bulir kelelahan pada wajahnya. Tatapannya meski melihat pemandangan kota dari balik jendela, tapi bisa dipastikan pikirannya tidak disana. Aku yakin ia lelah menghadapi traumanya dan aku yakinkan juga wajah cantik dan sendu itu membuatku iba.

"Ya, kau sangat merepotkan,.." shit,, mulut kurang ajarku tak mengenal situasi, ia lebih berkompromi dengan logikaku, "tidak sekarang bersikap manis pada gadis ini, ada saatnya", begitulah mulutku menerjemahkan dan keluarlah kata-kata itu.

Asha menoleh kearahku mendengar ucapanku barusan, raut wajahnya yang tadi sendu berganti raut marah. Ia mematikan sigaretnya yang sudah habis setengah dan bangkit dari duduknya. Gelagatnya menunjukkan akan ada sumpah serapah keluar dari mulutnya.

"Dengar ya tuan Dannis Diandra yang terhormat, saya tidak pernah meminta anda untuk datang kekehidupan saya ! Saya tidak mengenal anda sebelumnya ! Saya hanya tau kita rekanan bisnis, dan entah karena alasan apa tiba-tiba anda meminta saya jadi pacar pura-pura anda ! Anda mengancam akan membongkar semua aib saya ke publik jika saya menolak. Saya turuti keinginan anda, dan anda bilang saya sangat merepotkan ??? Ciihhh,, bukan saya yang merepotkan anda, tapi anda yang merepotkan diri sendiri... !!! "
Asha marah besar,, gadis itu benar-benar marah. Matanya memerah dan mulai berair. Belum sempat aku menjawab, ia berkata lagi, kali ini lebih melunak. Bahasanya pun kembali ke aku kamu, bukan anda saya lagi.

"Sekarang kau sudah tau semuanya tentangku Dannis, semuanya tanpa terkecuali...!" Ia kembali menghadap jendela aprtemen, kedua tangannya memeluk lengannya  yang mulai bergetar. Aku tau ia menangis.

"Dan kau pikir aku sekarang baik-baik saja ..? No....! aku berdua saja denganmu di tempat ini, aku takut..., tapi ini rumahku, ini lebih baik dari pada terkurung di lift sempit itu...!" Isaknya menguar memenuhi ruangan. Dapat kurasakan betapa menderitanya ia. Sedangkan aku,, laki-laki pecundang yang hanya bisa terdiam tanpa mampu berbuat apa-apa. Laki-laki pengecut yang memanfaatkan kelemahannya untuk keuntungan pribadiku. Sungguh ingin ku memeluknya saat ini dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

Aku mendekatinya, ia masih diposisi yang sama, menatap kosong kejendela sambil terus terisak dengan tubuh yang bergetar. Ia tak menyadari kehadiranku, bahkan ketika punggungnya hanya berjarak beberapa centi dariku. Dan entah desakan dari mana, tanganku terulur memeluknya, mendekapnya dengan sepenuh hatiku. Asha tak bergerak, getaran tubuhnya hilang, tangisannya terhenti. Dan dunia seakan berhenti berputar untuk beberapa saat, semua terasa hening, yang terdengar hanya bunyi dentingan jarum jam dan deru nafas kami yang mengehembus pelan. Aku memperdalam pelukanku, selembut dan serileks mungkin. Biar dia merasakan bahwa bersentuhan bukan sesuatu yang menakutkan dan menyakitkan. Hingga detik selanjutnya, satu kalimat meluncur dari mulutnya.

"Tolong....., jangan sakiti aku..." Pelan, gugup dan ribuan kecemasan mengiringi kalimat itu. Dan entah kenapa aku semakin merasa  bersalah dibuatnya. Sebegitu sakitkah hal yang dia alami dimasa lalu, sehingga sangat membekas sampai sekarang. Air matanya tumpah membasahi lenganku yang masih memeluknya. Asha tak berontak atau berteriak, tapi getaran hebat tubuhnya menerjemahkan ketakutan yang dihadapinya saat ini.

"Aku....., a ku...., tak kan me nya ki ti mu" aku berbisik ditelinganya. Aku menekankan disetiap penggalan kata agar ia yakin kalau aku tidak menyakitinya, namun sebaliknya, aku ingin ia tenang.

"Asha....., i'm promise, aku Dannis, tak menyakitimu, kau harus ingat, tak semua orang yang mencoba mendekatimu, bermaksud menyakitimu. Aku, Dannis.... kekasihmu, dan tidak akn menyakitimu..." katakanlah aku benar-benar sudah gila, tapi aku mencium puncak kepala yang bergetar itu. Aku memeluknya lebih dalam, membenamkan kepalaku diceruk lehernya. Membiarkan nafasku menderu di telinganya.

Asha tetap tak bergeming, getarannya masih terasa, air matanya masih tumpah membasahiku, dan tatapannya masih kosong. Biarlah begini, ini adalah awal yang baik untuk penyembuhan traumanya. Menghilangkan trauma adalah dengan menghadapi trauma itu sendiri, begitu yang kubaca di beberapa artikel.

Pagi itu adalah pagi yang penuh pengharapan bagi Asha. Dan aku ingin menjadi pengharapan bagi Asha untuk kesembuhannya. Setelah menjadikannya bahan taruhan dan memaksanya menjadi pacar pura-pura bahkan mengancamnya, aku bagai minyak tanah yang  menambah nyala api kesakitan di diri Asha, dan kini aku ingin menebus semua itu.

Sang Penakluk ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang