"Kau selangkah lebih maju ya Dan...,, aku tak menyangka kau gercep..." suara Judith dari seberang telfon membuatku tersenyum bangga meskipun ia tak melihatnya. Ia yang selama ini merasa sebagai pemegang piala penakhluk wanita, dari nada biacaranya aku merasakan dia menyimpan kekhawatiran. Khawatir pialanya akan bergulir padaku, btw.
"Tentu saja kawan, selangkah maju...pantang bagiku untuk surut.." jawabku sambil melangkah keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Masih dengan tangan kiri yang memegang ponsel, tangan kananku membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol air mineral dingin dan membawanya ke sofa didepan televisi. Judith terus saja mengoceh membanggakan dirinya kalau Twins Corp juga sudah menawarkan kontrak eksklusif dengan Asha dengan nilai yang lebih tinggi dari D.Corp. Ia juga sangat percaya diri kalau sebentar lagi ia akan secepatnya berinteraksi dengan wanita taruhan kami, apalagi kakak Asha adalah direktur pemasaran di perusahaan itu. Peluang terbuka lebar dan pemenang hampir bisa ditentukan. Menurutnya sih...
Tapi ini masih dua puluh empat hari lagi dari ambang batas pertaruhan kami, peluang masih banyak untuk melancarkan peluru demi peluru agar buruan dapat dibidik dengan tepat. Haaaa,, aku mentertawakan diri sendiri karena merasa begitu konyol sejak taruhan sialan ini. Namun semua sudah terlanjur, peluit sudah berbunyi dan aku sudah berlari menjauhi garis start. Dan yang perlu kulakukan hanya terus berlari sampai garis finish.
"Whats next...?" Masih suara judith disebarang sana menanyakan langkahku selanjutnya.
"Are you crazy..? Memberi tau rencanaku kepada lawan..? Haaaa..." aku terkekeh, kemudian mengambil botol minuman dan meneguk kembali air dingin yang tersisa.
"Haaa,, baiklah kawan,, kita lawan untuk masalah ini, tapi untuk nongkrong....hmm,, ayo keluar malam ini....?"
"Not for tonight dith, Mami papiku mengabari akan berkunjung, so im sorry.." aku merasa terselamatkan dengan kabar dari orang tuaku kalau mereka akan datang, itu artinya otomatis selamat dari Judith yang bisa dipastikan akan mabuk lagi jika kami akhirnya nongkrong. Meski aku tidak akan selamat dari cercaan mami papi yang hampir pasti akan menanyakan pertanyaan yang hampir tiga tahun ini terngiang-ngiang ditelingaku.
Disela-sela obrolanku dengan Judith, ada panggilan lain tertulis dilayar ponselku dan ternyata itu dari ibu. Aku memutus sambungan dengan Judith dan menerima panggilan dari the second big bos ini.
"Hallo mam...."
"Dan,, mami papi kayaknya ga bisa ke apartemen kamu, ini sipapi pas landing mendadak langsung pengen pulang kerumah,, kepalanya pusing banget katanyanya.." suara ibuku terdengar dari seberang sana. Yaa, mereka baru saja kembali dari Boston setelah hampir dua minggu disana. Sejak papi "pensiun" dari jabatannya sebagai penguasa D.Corp, ia kini punya banyak waktu segang untuk melakukan aktifitas pribadi tanpa harus memikirkan perusahaan dengan segala tetek bengeknya. Pergi ke Amerika tentu saja untuk mengunjungi Davin, anak sulung mereka.
"So, kamu yang datang kesini ya,, mami tunggu lo..." sambung ibuku lagi. Aku melirik jam dinding, sudah setengah sembilan malam. Meski sedikit malas, karena tidur rasanya lebih baik untuk saat ini setelah hari-hari yang berat dikantor, aku tetap menuruti perintah ibuku.
"Ok mam,, aku kesana.." jawabku kemudian, lalu mematikan sambungan dan bergegas.
Seperempat jam perjalanan, aku sampai dirumah kami. Dirumah ini aku dan Davin dibesarkan sampai aku menginjak dua puluh empat tahun. Memasuki usia sesudahnya, aku memutuskan untuk tinggal diapartemen, bukan apa-apa sih sebenarnya, apartemenku itu adalah hasil investasiku beberapa tahun sebelumya, dimulai sejak aku mulai kuliah, sambil belajar bisnis dari ayah dan mencoba peruntungan dengan bermain saham. Memasuki usia dua puluh tujuh, ayah memintaku bergabung diperusahaan sebagai direktur keuangan. Katanya ini sebagai ancang-ancang diawal untuk menjadikanku CEO menggantikan dia nantinya. Aku tak bisa menolak, karena bagaimana pun juga D.Corp adalah hasil buah karya ayah yang ia rawat bagai anak sendiri sejak masih jadi usaha rumahan. Lalu kalau bukan aku siapa lagi..? Davin..? Jangankan untuk bergabung dengan perusahaan, ia malah mengambil jurusan seni saat kuliah dan akhirnya ia mendapatkan keinginannya untuk membuka galery seni di Boston,US. Papi tidak putus asa,, ia masih punya satu anak lagi, Dannis Diandra yang punya selera bisnis yang sama dengannya. Dan inilah aku sekarang, jadi orang nomor satu Diandra Corp, CEO muda yang sukses, tampan, kaya , populer dan digilai banyak wanita, itu sih bukan kata-kataku, tapi itu yang selalu kudengar akhir-akhir ini dari media yang selalu rajin memajang wajahku di televisi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penakluk ( On Going )
RomansaAkhirnya dengan perlahan kucium kembali Asha, penuh hasrat dan nafsu yang membara. Asha menutup mata perlahan sambil membuka mulutnya, membiarkamku masuk menjelajah semua yang ada didalamnya. Bibir atas, bawah, bahkan lidah kami saling bergelut, ber...