Rinai hujan di bawah langit benderang.
Serangkaian kisah, yang terjadi
meninggalkan bekas luka.Bisakah Tuhan menetapkan cerita bahagia
sedikit lebih lama dari ketetapan takdir
yang telah dipersiapkan.Aku hanya manusia biasa.
Yang ingin merasakan indahnya dunia,
tertawa karena suatu alasan,
dan disayangi karena keharusan.-Skizofrenia-
Regan menghentikan langkahnya tepat pada kaca besar bertuliskan 'kantor kepolisian'. Tanpa buang waktu, ia masuk ke dalamnya. Di dalam sana keadaannya cukup ramai, lalu ia hampiri seorang polisi berseragam yang tak jauh dari tempat dia berdiri."Pak maaf, saya ingin bertanya." Sembari menyeruput segelas kopi di tangannya, polisi itu mengangguk. "Dimana tempat penanganan laporan kejahatan, pak?" lanjut Regan.
Laki-laki berperut buncit itu menurunkan gelas dari bibirnya, lalu bertanya. "Ada kejahatan apa emangnya?". Regan terdiam sejenak, seraya berpikir, apakah pantas membahas ini di keramaian. Namun ia tetap menjawab, karena mungkin saja polisi inilah yang akan membantunya dalam memproses laporan.
"Hmm. Pemerkosaan, pak" Laki-laki itu memanggut seraya menjawab datar,"oh.. pemerkosaan". Lalu kembali menyeruput kopi di tangannya.
Perkataannya seolah meremehkan kata-kata Regan. Seakan pelecehan seksual adalah hal lumrah yang tidak perlu dibesar besarkan."Maksud bapak apa,ya?". Mendengar nada suara yang cukup menantang dari Regan, polisi itu membenarkan topi di kepalanya juga meletakkan gelas di genggamannya ke atas meja."Maksud 'oh' bapak itu apa?!"
"Loh, kok jadi marah ke saya? Kan saya cuman ngejawab perkataan masnya. Kenapa mas sensian ke saya?" Tidak terima akan ucapan polisi itu, Regan menarik kerah laki - laki itu tanpa takut."Maksud bapak kalau istri saya di perkosa massal oleh para preman, itu bukan masalah besar?!" Naik pitam ia dibuatnya.
Hingga datang-lah beberapa polisi lainnya mencoba melerai."Mas tenang dulu, ini kantor kepolisian, Mas. Ada pasal yang bisa penjarain mas karena cari gara-gara sama polisi" kata polisi lainnya. Kalimat itu tentu tak membuat Regan takut, dan dengan berani ia turunkan kasar kedua tangannya pada kerah milik polisi berbadan buncit itu dan beralih menghampiri polisi yang baru saja mengatakan hal nyeleneh soal penjara dan polisi.
"Bapak punya istri?"Polisi itu tampak kebingungan, dan lalu menjawab.
"Hmm. Iya." Terlihat jelas raut wajah itu buncah meratapi jarak Regandra yang kini berada dekat dengannya.
"Bayangin kalau istri bapak diperkosa oleh bajingan-bajingan itu, dan kasusnya diremehkan oleh bapak polisi terhormat!" Ia menggantung kalimatnya sembari menatap sekeliling yang ramai dikerumuni. Lalu melanjutkan, "Satu satunya tujuan yang saya percaya bisa membantu saya, ITU KALIAN! Kemana lagi saya harus pergi jika bukan kepada kalian pihak berwajib!" tegasnya sembari menusuk dada polisi itu menggunakan jari telunjuk.
"Kalian sadar?! Kalian sama jahatnya kaya mereka yang udah perkosa istri saya! Mementingkan harga diri, jabatan, dan kehormatan kalian tanpa perduli jiwa yang hancur oleh orang - orang brengsek kaya kalian!"
Para pengunjung yang menjadi saksi kericuhan ini ikut berpandangan buruk karena pengaruh ucapan Regan barusan. Suara bisik-bisik dari orang-orang membuat para polisi kalang kabut. Polisi-polisi lainnya pun kian berdatangan menghampiri Regan, mencoba meredam kekacauan dengan menebus kesalahan.
"Mas bisa bilang kalau masalah istri mas rumit, mari saya antar ke ruangan saya. Kita bicarakan baik-baik"Dengan cepat Regan menolak.
"Tidak! Saya tidak sudi mempercayakan penanganan kasus istri saya kepada kalian, BAJINGAN! bahkan jika saya harus menelan ludah kalian!"
Regan pergi meninggalkan tempat, namun beberapa polisi bersikukuh mengejarnya hingga ke parkiran. Memberikan penawaran penanganan kejahatan istimewah dengan melibatkan banyak polisi untuk menangkap penjahatnya. Namun tetap tidak membuat Regan luluh. Ia tetap pergi, meninggalkan para polisi-polisi itu dalam masalah besar. Setidaknya sekarang ia tahu, bahwasanya orang terhormat pun tak bisa menghargai hal yang berat bagi orang lain. Dan Regan akan berusaha lebih baik lagi agar tidak menjadi sama seperti mereka.
Matahari telah terbenam, dan rembulan telah berkumpul dengan sang bintang. Tepat pada pukul delapan malam, di depan pintu rumah yang tertutup rapat. Berdirilah se-sosok laki-laki jangkung, dengan kemeja dan celana bahan yang masih sama rapihnya seperti saat ia meninggakan rumah. Regan. Laki-laki itu tampak gelisah. Bukan karena takut akan bertemu lagi dengan sang pujaan hati, hanya saja ia tidak merasa pantas pulang tanpa membawa berita baik. Fara mungkin akan mengerti, tapi jauh di lubuk hatinya pasti merasa kecewa.
Namun dengan berat hati ia memutuskan untuk tetap masuk ke dalam.Ceklek.
Pintu itu mengarah pada ruang tamu. Di ruang tamu ia dapati istrinya terduduk manis seraya menatap kosong ke depan. Buru- buru ia hampiri wanita itu, pergi duduk bersimpuh di lantai berhadapan dengan kedua lutut milik wanita muda itu."Hai sayang ... mas udah pulang" Regan mengukir senyuman. Sementara Fara diam mematung di tempat, bahkan untuk menoleh pun ia enggan.
"Eh Regan ... udah pulang, nak?" Wanita paruh baya itu menghampiri Regan begitu sadar akan kepulangannya. Dia Ibunya Fara, Ana namanya. Sengaja Regan panggil hari ini untuk sekiranya menemani Fara selagi Regan pergi meninggalkan rumah.
"Assalamualaikum Ibu" salam Regan pada Ibu.
"Waalaikumsalam" balas ibu tersenyum simpul.
Sedikit cerita, Fara dan keluarga adalah penganut agama Islam. Ketika umurnya menginjak dua puluh tahun, ia memutuskan pindah agama menjadi kristen. Fara tidak pernah menyesali keputusan yang dia ambil. Pertentangan apapun yang ia hadapi, kembali lagi pada diri sendiri. Meski Abi dan Ibu menentang dan melarang, Fara tetap kukuh bahwa dirinya memiliki hak atas dirinya sendiri.
Fara pernah bercerita ketika dahulu, saat ia meminta izin Abi dan Ibu. Abi sangat marah, ia menentang begitu tegas. Bahkan ketika dua bulan berlalu, Abi masih tak mau berbicara pada Fara sedikit pun. Tapi lama kelamaan Abi kembali seperti biasanya. Baik dan selalu perhatian, entah karena apa. Bahkan setelah 3 bulan sejak keributan itu, masalah seperti hilang begitu saja. Abi maupun Fara sama - sama tak mencoba kembali membuka topik untuk sekiranya menyelesaikan keputusan yang simpang siur itu.
Ujung ujungnya Fara tetap memutuskan pindah agama, bahkan Ibu dan Abi pun tahu. Abi memang tidak pernah mengatakan setuju atau tidak setuju soal kehendak yang akan Fara ambil. Tapi sikap Abi disimpulkan sepihak oleh Fara sebagai tanda bahwa Abi setuju. Tidak penting bahwa Abi tidak mengatakannya secara langsung. Mungkin Abi seperti itu karena ia amat menyayangi putri tunggalnya, ia hanya mau apa yang terbaik saja bagi Fara, tidak penting bagaimana sakit hatinya.
Kembali lagi pada Ibu, Regan dan Fara. "Regan makan dulu gih, Ibu ada masak kangkung sama tempe"pinta ibu pada Regan, penuh perhatian. Lalu di balas olehnya,"Iya bu" balas Regan..
"Fara, yuk ke kamar. Ibu udah rapihin kasur kamu." Titah Ibu seraya menggapai telapak yang menutup dan menempel pada paha itu sejak tadi, untuk menuntunnya berdiri. Regan juga turut membopong sebentar tubuh Fara yang masih saja tergontai itu, lalu berhenti tepat di depan pintu kamar.
Setelahnya, ia hanya meratapi dari kejauhan, lalu pergi beranjak dari sana.-Skizofrenia-
KAMU SEDANG MEMBACA
02 | SKIZOFRENIA - SPIN OFF LOSE [END]
Novela Juvenil[SUDAH DITERBITKAN] 1990, akan selamanya abadi dalam relung hati dan pikiran Fara. Perihal hari dimana ia dilecehkan seperti binatang seksual, dan menjadi bahan gunjingan para tetangga dan ibu mertua. Sejak saat itu kehidupannya hancur dan berantaka...